Hidayat Nur Wahid: Tahun 2008 MK Putuskan Sistem Pemilu Terbuka, harus Konsisten!

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid/foto: pks.id


ftnews.co.id, Jakarta – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) agar memutuskan sistem Pemilu Terbuka. MK hendaknya tetap konsisten dengan keputusannya sendiri. Tahun 2008, MK yang mengubah sistem pemilu dari tertutup menjadi proporsional terbuka.

Hidayat yang juga anggota DPR RI dari Fraksi PKS ini mengimbau agar tidak mencenderai kadaulatan sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sewajarnya MK harus secara bijak dan konsisten memihak kepada rakyat.

“MK hendaknya tetap konsisten dengan keputusannya sendiri yang diputuskan pada tahun 2008 yang mengubah sistem pemilu dari tertutup menjadi proporsional terbuka,” ujar Hidayat saat menerima aspirasi dari belasan ustadzah pimpinan Forum Silaturahim Majelis Taklim (Forsitma) Pesanggrahan Jakarta Selatan, yang digelar di Gedung MPR RI, Selasa (13/6/2023).

MK sendiri telah menjadwalkan akan membacakan putusan uji materi UU Pemilu berkaitan dengan sistem Pemilu pada Kamis, 15 Juni 2023.

Karena itu, Hidayat meminta MK agar kembali kepada Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai acuan dalam menentukan Pemilu dengan sistem terbuka sejatinya merupakan argumen dasar MK, saat membuat keputusan pada 2008 lalu.

“Ingat saat itu MK ‘mengarahkan’ perubahan dari sistem tertutup ke sistem proporsional terbuka atas nama kedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945,” tegas Hidayat mengingatkan para hakim MK.

Alangkah tidak rasional dan tidak konsisten, lanjut Hidayat, apabila dalam perkara yang sekarang MK justru memutus sebaliknya, tanpa adanya pelanggaran Konstitusi yang terjadi akibat diberlakukannya sistem terbuka.

“Apalagi sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI dinyatakan bahwa putusan MK tersebut – termasuk putusan pada 2008 itu – final dan mengikat, sehingga diberlakukan secara konstitusional pada Pemilu 2009, 2014 dan 2019,” tambahnya.

HNW menambahkan, kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 juga lebih sesuai pemberlakuannya dengan sistem pemilu terbuka bukan dengan sistem tertutup, sebagaimana dengan tegas disebutkan dalam pasal lainnya dalam UUD NRI 1945, yakni Pasal 22E ayat (2).

Ketentuan ini berbunyi, ‘Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.’

“Jadi, Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 itu sudah sangat tegas bahwa yang dipilih oleh Rakyat pemilik kedaulatan adalah kandidat atau calon Anggota DPR, DPRD dan lain-lain, bukan mencoblos tanda gambar partai saja sebagaimana berlaku pada masa orde baru,” ujarnya.

Dia juga tidak segan-segan mengingatkan MK agar mendengarkan suara mayoritas masyarakat Indonesia, baik masyarakat umum maupun para tokoh, yang menolak sistem tertutup.

“Sebagian masyarakat Indonesia menginginkan dan mendukung sistem terbuka dan menginginkan pemilu dilaksanakan tetap dengan sistem proporsional terbuka.

“Bahkan, puluhan tokoh nasional juga telah mengirimkan pendapat sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) ke MK, agar MK konsisten dalam keputusannya yang Konstitusional bahwa pemilu tetap dengan sistem proporsional terbuka. Ini juga harus dipertimbangkan oleh MK dalam putusannya nanti,” tukasnya.

HNW mengatakan sikap mayoritas Rakyat Indonesia, yang memilih Pemilu tetap dengan sistem terbuka ini juga tertuang dalam berbagai survei sejak Januari, Februari, Mei 2023 lalu yang menyatakan bahwa 71% – 76% Rakyat Indonesia (termasuk pemilih PDIP, partai yang mendukung sistem tertutup) tetap menginginkan sistem proporsional terbuka.

“Bahkan DPR dan Pemerintah beserta KPU dan Bawaslu, sesuai sila ke 4 Pancasila, juga sudah bermusyawarah dan mufakat memutuskan bahwa Pemilu 2024 akan tetap menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka,” jelas Wakil Ketua Majelis Syura PKS itu.

Dia menyebut agar rakyat makin percaya dengan demokrasi dan konstitusi. Agar hasil Pemilu (Pileg dan Pilpres) benar-benar legitimate dan diterima rakyat dengan legowo karena ada keteladanan dalam konsistensi menjalankan konstitusi.

Kendati begitu, lanjut Hidayat, mengaku sistem proporsional terbuka memang bukannya tanpa catatan.

“Koreksinya bukan dengan kembali setback kembali ke zaman Orba, melainkan tetap merujuk pada prinsip kedaulatan rakyat yang telah diberikan oleh UUD,” tegasnya.

Bila di suatu Dapil ternyata sebagian besar rakyat mencoblos tanda gambar Parpol, sehingga mengalahkan coblosan untuk nama calon anggota DPR, jelasnya.

“Jadi, wajar secara demokrasi maupun prinsip keadilan kalau Parpol sebagai pihak yang mendapat suara terbesar dari Rakyat, untuk menentukan siapa wakilnya di DPR,” ujarnya.***

Tutup