Beranda Berita Terkini Pengamat Ingatkan Perlunya Pendidikan Sadar Politik untuk Generasi Z

Pengamat Ingatkan Perlunya Pendidikan Sadar Politik untuk Generasi Z

Ilustrasi. (Foto: KPU)

ftnews.co.id, Jakarta— Pengamat politik Universitas Andalas Sumatera Barat Prof Asrinaldi mengingatkan pentingnya pendidikan sadar politik kepada generasi muda terutama generasi Z (lahir mulai tahun 1997) guna mendorong partisipasi pemilih pemula pada Pemilu 2024.

Asrinaldi mengatakan, pendidikan politik bukan semata tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu, melainkan menjadi tugas banyak pihak di sektor pendidikan, termasuk dari partai politik dan lembaga swadaya masyarakat.

“Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, KPU atau penyelenggara itu sudah ada fungsinya, tugas dan kewenangannya. Tugas dari KPU itu menyelenggarakan tahapan, terakhir sampai penyebaran informasi,” kata Asrinaldi saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu.

Berdasarkan data Statistik Politik 2019 Badan Pusat Statistik (BPS), partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019 mencapai 158,01 juta pemilih atau 81,97 persen. Sedangkan untuk pemilih Gen Z yang lahir pada 1997 hingga 2012 berjumlah 46,8 juta pemilih atau sebanyak 22,85 persen berdasarkan data KPU.

Asrinaldi menilai, generasi Z lebih cepat mencerna informasi, mampu mengoptimalkan fungsi internet dan peka terhadap kemajuan teknologi. Karena itu perlu mendapat pendidikan sadar politik agar kemampuan mereka bisa dimaksimalkan untuk membangun iklim berdemokrasi yang baik di masa depan.

“Sekarang persoalannya bisa enggak mereka (generasi Z) dibimbing ke arah positif itu. Sehingga dia terdorong dan termotivasi untuk sadar politik,” kata Asrinaldi.

Kemampuan Gen Z di media sosial dan internet juga bisa diarahkan secara positif. Misalnya untuk mengenal para calon wakil rakyat pada Pemilu 2024 dengan melihat sepak terjang mereka di berbagai pemberitaan media siber.

Ia juga menyarankan agar KPU senantiasa menyasar generasi muda dalam setiap sosialisasi tahapan Pemilu dengan harapan dapat meningkatkan angka partisipasi kalangan pemilih pemula.

“Misal jangan pilih Caleg yang korup, Caleg yang punya (riwayat) kejahatan seksual, yang ini, yang KDRT,” kata Asrinaldi.

Komisioner KPU RI sekaligus Wakil Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat, Betty Epsilon Idroos menjelaskan, pihaknya telah melaksanakan sejumlah program pendidikan pemilih yang menyasar anak muda, seperti pengenalan pemilu kepada siswa SLTA secara tatap muka.

Program itu, kata Betty, meliputi juga sosialisasi dan pendidikan pemilih dengan mitra kerja yang bersegmentasi pemilih pemula, video sosialisasi pemilih pemula, sayembara video serta kirab pemilu.

“Akan berjalan di Agustus, ‘KPU goes to campus’, SLTA dan pesantren,” kata Betty saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu.

Para pemilih juga bisa memanfaatkan gerakan masyarakat yang netral untuk membantu pemilih lebih mengenal program, tahapan dan pentingnya menggunakan hak suara dalam pemilu. Misalnya gerakan Bijak Memilih yang diinisiasi “What is Up, Indonesia?” bersama Think Policy.

Salah satu pendiri gerakan Bijak Memilih, Abigail Limuria mengatakan, pihaknya mengumpulkan data yang relevan dan mudah dicerna kalangan pemilih pemula agar Gen Z bisa menggunakan hak pilihnya berdasarkan data.

“Jadi kita kumpulkan data-data yang relevan, kita ‘present’ dengan format yang gampang untuk di-‘digest’ (dicerna). Terus selain di website, kita ada kampanye ‘online’, ‘roadshow’ juga ‘offline’ supaya dengan tujuan pemilih muda itu bisa memilih berdasarkan data,” kata Abigail.

Abigail menjelaskan, melalui program itu para pemilih bisa melihat rekam jejak dan agenda prioritas yang diusung para calon wakil rakyat.

“Misalnya isu-isu korupsi bisa dilihat dari UU KPK. Nah itu kita jabarkan tuh jadi mereka ‘voting’ misal RUU KPK atau misal RUU KUHP,” katanya.

“Hal-hal kayak gitu tuh gimana sih ‘voting history’ (riwayat pemungutan suara) supaya kelihatan, oh yang mana nih partai yang lebih ‘aligned’ (selaras) sama pilihan saya berdasarkan isu,” kata Abigail.

Namun demikian, Abigail menyarankan kepada para pemangku kepentingan untuk tetap berupaya mengajak pemilih muda, termasuk generasi Z agar berpartisipasi dalam Pemilu 2024, dengan cara memperbaiki komunikasi antara pihak terkait dengan pemilih muda.

Tentunya sudah banyak “effort-effort” (usaha-usaha) dari KPU, Bawaslu, yang bener-bener secara riil melibatkan anak muda. Tapi mungkin caranya masih kurang masuk dengan gaya bahasa mereka.

“Jadi kesannya kayak ‘outdated’ (basi) dan enggak relevan. Mungkin bisa di-‘update’ (diperbaharui) juga cara merangkul mereka supaya lebih nyambunglah dengan bahasa-bahasa mereka,” kata Abigail menjelaskan.***

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini