ftnews.co.id, Jakarta— Para elit politik, terutama mereka yang baru saja terjun dalam politik praktis, harus belajar lebih rileks dalam membaca hasil survei opini publik.  “Ini peristiwa yang terjadi berulang-ulang di setiap pemilu presiden, sejak tahun 2004. Bahkan ini juga terjadi di banyak Pilkada,†tutur Denny JA, konsultan politik yang juga pendiri Lingkaran Survei Indonesia, Rabu (11/10/2023).
Hasil survei selalu disambut dengan senyum manis oleh mereka yang saat itu sedang menang di survey. Namun hasil survei juga disambut dengan senyum kecut, bahkan kecaman oleh mereka yang saat itu kalah dalam hasil survei.
Denny memaparkan, awal Oktober 2023, Lembaga survei LSI Denny JA digugat dan disomasi secara hukum, karena dukungan atas Anies Baswedan di Sumatra Utara, dalam survei itu sangat kecil.
Untuk banyak kasus lain, juga kasus Pilkada, kubu yang dikalahkan bahkan menduga ada permainan tingkat tinggi. Bahkan mereka mengatakan hasil survei ini diatur untuk nanti membenarkan kecurangan Pemilu atau Pilkada.
Memang tetap ada sisi positif somasi hukum ini. Setidaknya ia membuat kita merasa perlu memberikan semacam tips populer atau panduan.
Bagaimanakah seharusnya kita menilai hasil survei? Atau bagaimana cara tahu, apakah satu lembaga survei itu kredibel atau tidak.
“Tiga tips sederhana bisa digunakan. Pertama, lihat track record lembaga survei itu. Bukankah ini era Google searching? Segala hal bisa kita lihat jejak digitalnya di Google,†jelasnya sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya.
LSI Denny JA, misalnya, ini lembaga survei yang paling tua yang sekarang ini masih aktif di survei opini publik Indonesia.
Sejak tahun 2004, sebulan sebelum hari pencoblosan, lembaga ini (dan Denny JA) memberikan satu publikasi mengenai siapa yang menang di Pilpres saat itu.
Di tahun 2004, LSI mengumumkan SBY lah yang terpotret akan menang. Di tahun 2009 lebih jauh lagi, SBY akan menang satu putaran saja!
Juga di tahun 2014, ataupun 2019, LSI Denny JA juga mempublikasikan, Jokowi akan menang. Sebulan kemudian, hasil survei itu , dan prediksinya, dalam empat kali Pilpres (2004, 2009, 2014, 2019), terbukti. Semua bisa dilihat di Google.
“Tapi tentu ada pula lembaga survei yang namanya baru terdengar kemarin sore. Yang belum ada track recordnya yang akurat pada Pilpres sebelumnya, tentu sah diberikan tanda tanya,†ucapnya.
Tips kedua, lanjutnya, lihat pula reputasi lembaga survei itu. Bisa dinilai kiprahnya, achievement-nya. Misalnya, seberapa Lembaga ini karena reputasinya, karena achievement-nya mendapat penghargaan baik dari lembaga internasional ataupun dari lembaga nasional.
LSI Denny JA, atau Denny JA sendiri (akibat kiprahnya di lembaga survei), misalnya, sudah mendapatkan penghargaan dari majalah TIME.
Juga penghargaan dari Guiness Book of World Record karena memecahkan rekor dunia untuk pendidikan politik. Juga penghargaan dari Twitter. Juga dari organisasi wartawan: PWI Jaya. Juga penghargaan dari kampus.
Ada pula lembaga survei, atau pun tokohnya, yang tak terlihat penghargaannya. Tapi tentu ini tak berarti lembaga itu otomatis tidak kredibel.
Namun penghargaan dari lembaga nasional, apalagi internasional yang besar, menjadi bukti publik menilai kiprahnya. Dan lembaga yang sudah susah payah membangun reputasi, tentu akan aneh jika ia menjatuhkan dirinya sendiri.
Tips ketiga, survei juga harus dilihat dalam kerangka waktu. Survei itu hanyalah potret ketika saat survei itu dilakukan. Waktu yang berbeda dapat pula menghasil survei yang berbeda.
Pertanyaan khas dan standard dalam survei: “Jika Pilpres/Pilkada terjadi hari ini, siapakah Capres yang ibu/ bapak pilih? Itu artinya survei memotret sikap responden di hari ini, hari survei dilakukan.
Tentu saja, pesona Capres bisa naik dan turun. Capres yang sangat populer di survei bulan Juni, misalnya, bisa jatuh tiga bulan lagi di bulan September. Itu karena ia membuat blunder.
Sebaliknya, Capres yang buncit di bulan Desember, bisa jauh lebih tinggi di bulan Febuari, 2 bulan ke depan. Itu karena sosialisasi sang Capres yang fenomenal.
Contohnya, Pilkada DKI 2017. Bulan Januari 2017, LSI Denny memotret Anies nomor buncit saat itu. Tapi di bulan April 2017, LSI Denny JA mengumumkan Anies akan menang di Pilkada DKI, mengalahkan Ahok.
Mengapa LSI Denny JA di Pilkada 2017, mengumumkan posisi Anies yang berbeda antara bulan Januari ke April? Itu karena elektabilitas Anies sendiri memang berubah di lapangan. Survei yang kredibel mampu memotret perubahan itu.
“Perhatikan saja beberapa publikasi LSI Denny JA di Pilpres kali ini. Walau Anies selalu buncit, juga di survei lembaga lain, selalu ada teks: pelajaran dari Pilkada DKI. Yang nomor buncit selalu potensial menyusul,†tuturnya.
Tapi tentu saja, Indonesia, dari Aceh hingga Papua, jauh lebih luas dan kompleks dibandingkan DKI. Apa yang terjadi di DKI 2017 (Pilkada) belum tentu juga terjadi untuk skala Indonesia 2024 (Pilpres).
Tiga tips di atas bisa menjadi panduan bagi elite untuk menilai hasil survei itu kredibel atau tidak. Elit politik yang sudah kawakan sudah terbiasa dengan kondisi itu. Memang akan beda jika politisi itu tergolong “The New Kids on The Block.â€
Menurut Denny, penting bagi para elit politik, menghadapiPpipres 2024, untuk lebih rileks dalam membaca hasil survei.
Hasil riset sebaiknya juga dibantah oleh hasil riset. Jika hasil  riset dibantah oleh somasi hukum, itu akan dikenang oleh sejarah, dan negara demokrasi luar negeri, sebagai, ucapan anak gaul sekarang: “lebai banget sih elu ini…â€***