Banyak Parpol yang tak Penuhi Caleg Perempuan 30 Persen

Titi Anggraini/Foto: dok Ig @tanggraini

ftnews.co.id, Jakarta – Pegiat dan dosen hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini menemukan masih banyak partai politik tak penuhi kuota 30 persen perempuan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota legislatif (caleg) DPR RI di sejumlah daerah pemilihan (dapil).

Di Dapil Aceh 1, dari tujuh kursi anggota DPR yang diperebutkan hanya Partai Buruh, PKS, Partai Hanura, Partai Garuda, PAN, PSI, Perindo, dan PPP yang memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan. Sementara 10 partai politik lainnya tak memenuhi kuota 30 persen di dapil tersebut.

Demikian juga di Dapil Bengkulu. Dari empat kursi anggota DPR yang diperebutkan, Partai Golkar, PKB, Partai Hanura, Partai Demokrat, dan Partai Ummat mencalonkan hanya satu perempuan dari empat calon yang diusung. Keterwakilan perempuan hanya 25 persen.

Menurut Titi, pemenuhan kuota 30 persen caleg perempuan-perempuan di setiap dapil itu merupakan amanat Pasal 245 UU Pemilu. Bahkan ketentuan tersebut sudah dikuatkan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa, “dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas”.

Titi mengatakan, keterwakilan perempuan sebesar 30 persen itu bukan secara rata-rata nasional, melainkan harus dipenuhi di setiap dapil. Ketentuan ini sudah diberlakukan sejak Pemilu 2014 dan 2019.

“Ketika itu kalau ada partai yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam daftar caleg (di suatu dapil), maka partai didiskualifikasi dari kepesertaan pemilu di dapil tersebut,” kata Titi dalam keterangannya, Senin (6/11/2023).

Menurut Titi, kenyataan ini sungguh ironis. “KPU justru menjadi aktor pelemahan keterwakilan perempuan politik pada Pemilu 2024,” tukasnya.

Titi menegaskan, KPU tidak bisa berdalih bahwa tidak ada ketentuan sanksi bagi partai yang tidak mengusung 30 persen perempuan di suatu dapil. Karena pemenuhan kuota 30 persen itu adalah persyaratan wajib ketika pengajuan calon.

“Jika KPU tetap meloloskan, dapat dikatakan KPU telah membangkang terhadap perintah UU dan juga Putusan MA,” tukas Titi yang pembina pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.

Tutup