Pengamat: Presiden Jokowi, Gibran Berpotensi Dilaporkan ke Polisi
ftnews.co.id, Jakarta — Advokat dan koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menyebut Presiden Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka berpotensi dilaporkan secara pidana ke aparat hukum.
“Khusus Anwar Usman dapat dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi untuk memproses dugaan pelanggaran Etik dan bisa berujung pemecatan,” ujar Petrus dalam diskusi bertajuk “Keputusan MK, Adil Untuk Siapaâ€, Sabtu (21/10/2023).
Menurut dia, jika Gibran Rakabuming dipasangkan sebagai Capres atau Cawapres, dengan menggunakan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, maka akan berpotensi digugat karena menggunakan putusan MK yang boleh jadi tidak sah.
Keputusan MK tersebut, lanjut Petrus, seperti dikutip dari keterangan Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) yang diterim FTNews, Minggu (22/10/2023) berpotensi melanggar Konstitusi dan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 berpotensi melanggar rambu-rambu berupa asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 3,4, dan ayat 5, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No. 48 Tahun 2009, putusan MK itu menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya†jelas Petrus.
Jubir Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Tama S. Langkun, mengemukakan putusan MK, tidak untuk orang muda. Putusan MK seperti ini untuk mendorong orang muda, seperti yang digembor-gemborkan, ini tidak sama sekali untuk orang muda.
“Putusan ini tidak bilang begitu. Putusan ini bilang begini; berusia pada usia 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih secara langsung termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar dia.
Langkun menambahkan, keputusan MK ini berbicara tentang orang yang dipilih langsung melalui Pemilu. Ini hanya bicara soal mungkin saja ada kepala daerah yang 40 tahun yang dijagokan.
Bicara legal standing, lanjut Langkung, biasanya di MK sangat kuat. Sekarang tampaknya longgar. Kenapa Longgar? Ada mahasiswa pengagum Wali Kota Solo, tiba-tiba punya legal standing untuk menggugat.
“Yang digugat materi tentang kepala daerah maju menjadi calon presiden/wakil presiden. Jadi, legal standing ini agak aneh. Kami juga pernah mengajukan permohonan guguatan ke MK, tapi ditolak karena legal standing tidak jelas. Nah, sekarang mahasiswa tiba-tiba diterima,” ujar Langkung yang merasa ada yang aneh.
Lebih lanjut Langkun menjelaskan, memuat norma norma hukum yang dijunjung tinggi oleh konstitusi dirusak. Sebagai open legal policy, perubahan umur minimal calon presiden/wakil presiden harus dikembalikan ke DPR bersama-sama Presiden.
Langkun menegaskan, MK tidak mencampuri angka umur minimal 40 tahun karena tidak melanggar konstitusi. Konstitusi hanya menjamin soal orang bisa memilih dan dipilih. Jadi, hanya esensi saja.
“Tapi harus 40 tahun ya. Itu bukan urusan konstitusi. Itu urusan DPR dan Presiden†tegas Langkun.
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengatakan mengajak masyarakat memberikan pemikiran atau kritikal terhadap keputusan MK tertanggal 16 Oktober 2023 tersebut.
Pada bagian-bagaian awal keputusan-keputusan MK tersebut, menurut hemat Emrus, sangat tepat, menetapkan usia minimal sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yaitu usia calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun.
Namun salah satu keputusan, ujar Emrus Sihombing mengakui keputusan MK menimbulkan keprihatinan berbagai kalangan. Pemakaian kata “atau†untuk kepala daerah bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden, sekalipun usianya di bawah 40 tahun, sehingga keputusan MK sangat bertentangan dengan azas keadilan.
Dia menambahkan, pengajuan calon presiden dan wakil presiden dari kepala daerah di bawah usia 40 tahun dikabulkan oleh MK, di tengah puluhan gubernur dan ratusan kepala daerah tingkat dua terjerat kasus korupsi.
“Artinya apa? MK memberikan suatu privilege (perlakukan eksklusif) terhadap kepala daerah untuk menjadi calon presiden/wakil residen sekalipun umurnya di bawah 40 tahun,” kata Emrus.
Keputusan ini, menurut hemat Emrus, tidak sejalan dengan dasar negara kita, Pancasila, sila ke lima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Mengapa? Pertanyaan kritikal, hanya kepada kepala daerah yang boleh menjadi calon presiden/wakil presiden sekalipun usianya di bawah 40 tahun.
“Kalau misalnya alasannya adalah persoalan Kepala Daerah adalah dipilih langsung oleh rakyat, bukankah anggota legislatif di semua tingkatan dan DPD RI dan kepala desa dipilih langsung oleh rakyat,” katanya
Jadi, lanjut Emrus, keputusan MK berpotensi menyakiti dan melukai hati rakyat karena keputusan tersebut jauh dari rasa keadilan masyarakat dalam bidang politik demokrasi.***


