FTNews, Jakarta— Dua partai politik, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB) menjadi Pihak Terkait uji materiil aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Keduanya yang diwakili kuasa hukumnya mengutarakan pandangan berbeda. PKS menilai presidential threshold berfungsi untuk memperkuat pemerintahan, sedangkan PBB justru menilai sebaliknya.
PBB menilai presidential threshold mematikan kemampuan partai melakukan pendidikan politik untuk kaderisasi kepemimpinan nasional.
Hal ini disampaikan kuasa hukum PKS dan PBB dalam sidang untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, 87/PUU-XXII/2024 dan Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024.
Dilansir mkri, sidang keenam tiga perkara ini digelar pada Rabu (6/11/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan perkara dengan Nomor 62/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan, yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Sementara Perkara 87/PUU-XXII/2024 empat dosen yang menjadi Pemohon perkara ini antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad.
Sedangkan Pemohon Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 ini adalah Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) serta Titi Anggraini (Pemohon II).
Gugum Ridho Putra yang mewakili PBB menyampaikan, presidential threshold sebesar 20% kursi atau 25% suara sah secara nasional, tidak sekadar melemahkan partai-partai minoritas untuk berkembang, tetapi secara langsung juga melemahkan sistem presidensial.
Ia menambahkan ketika Undang-Undang Dasar menegaskan bahwa calon presiden dan wakil presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, maka Undang-Undang Dasar sejatinya menghendaki partai politik yang menjalankan fungsi sebagai produsen kandidat-kandidat presiden berkualitas secara berkesinambungan.
“Ketika Undang-Undang Pemilu membatasi pengusungan calon presiden dan wakil presiden hanya kepada partai-partai yang mampu memenuhi presidential threshold, maka hal itu melemahkan sistem presidensial karena jabatan presiden dikurangi dari peluang untuk mendapatkan kandidat calon presiden dan calon wakil presiden terbaik dari kalangan partai di luar itu,” ujar Gugum di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.
Partai Minoritas Alami Stunting
Selain itu, sambung Gugum, alasan mempertahankan adanya presidential threshold yakni untuk menguatkan sistem presidensial. Akan tetapi, jelasnya, kebijakan tersebut justru menyumbat saluran kaderisasi partai untuk mencapai puncak kepemimpinan nasional.
Bahkan PBB memandang kebijakan presidential threshold sebagai kebijakan yang sengaja diadakan untuk membuat partai-partai yang baru muncul dan partai minoritas kursi dan suara agar mengalami gangguan pertumbuhan atau stunting.
“Kebijakan ini membuat partai-partai baru dan partai minoritas dipaksa untuk menghentikan pendidikan politik kaderisasi internal, sehingga sulit untuk tumbuh dan berkembang.”
“Partai-partai tidak punya pilihan lain selain tergiring untuk sekadar menjadi kendaraan pengusung calon dalam koalisi yang dituntun oleh partai-partai dominan. Hal ini tentu bukan keadaan ideal yang diinginkan oleh pembuat ataupun penyusun Amandemen Undang-Undang Dasar kita,” tandas Gugum.***