FTNews, Jakarta— Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya terhadap pengujian Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Kamis (31/10/2024).
Sidang Pengucapan Putusan Nomor 113/PUU-XXII/2024 tersebut disampaikan atas permohonan Usep Syaefulloh (Anggota DPRD Kabupaten Bogor Periode 2019 – 2024/Pemohon I) dan Deva Syafa Syaefulloh (Pemohon II).
Dilansir MKRI, Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebutkan terkait penyusunan dan penentuan daerah pemilihan serta alokasi kursi tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 yang diucapkan pada 20 Desember 2022.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, sambung Saldi, Mahkamah menegaskan UU Pemilu cukup mengatur prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan, jumlah kursi minimal dan maksimal setiap daerah pemilihan, serta total jumlah kursi DPR dan DPRD; penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi harus rasional dan memenuhi prinsip penyusunan daerah pemilihan.
Rincian mengenai tahapan penyelenggaraan pemilihan umum diserahkan kepada KPU untuk diatur dengan Peraturan KPU sesuai ketentuan Pasal 167 ayat (8) UU Pemilu; dalam menyusun peraturan KPU dimaksdu, KPU tetap berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah.
Kewenangan Penyelenggara Pemilu
Berkenaan dengan jumlah kursi di Dapil Bogor 4 untuk pengisian anggota DPRD Kabupaten Bogor yang pada pemilu sebelumnya berjumlah sembilan kursi menjadi tujuh kursi karena adanya potensi pemekaran daerah Bogor Timur dan Bogor Barat yang menunjukkan kekhususan dari segi wilayah dan jumlah penduduk di Kabupaten Bogor sebagaimana yang didalilkan para Pemohon.
Maka, Mahkamah telah menegaskan UU Pemilu hanya menentukan batasan yang bersifat umum, sedangkan hal yang lebih detail termasuk penentuan jumlah kursi untuk setiap dapil menjadi kewenangan penyelenggara pemilu untuk menentukannya.
Bahkan pada Pemilu 2024 khusus dalam penentuan jumlah kursi tiap dapil pada kabupaten/kota, KPU telah melakukan penataan ulang jumlah kursi beberapa dapil termasuk jumlah kursi DPRD Kabupaten Dapil Bogor 4.
Menimbang secara sistematis, norma pasal a quo yang diuji konstitusionalitas oleh para Pemohon berada dalam Bab III Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan merupakan salah satu wujud kepastian dan perlindungan hukum dalam penyelenggaraan pemilu.
Dalam batas penalaran yang wajar, tanda adanya pembatasan dalam norma pasal a quo perlindungan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu termasuk penentuan jumlah kursi pada setiap kabupaten/kota tidak akan tercapai.
Sedangkan menyoal perubahan alokasi jumlah kursi DPRD kabupaten/kota, baik jumlah kursi minium maupun maksimum merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
“Setelah Mahkamah mencermati batas atas alokasi kursi DPRD Kabupaten/Kota, tidak ditemukan norma tersebut melanggar persyaratan kebijakan huum terbuka dan tidak pula menimbulkan problematika kelembagaan.
Mahkamah menilai ketentuan alokasi kursi DPRD kabupaten/kota tidak membuat ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan atau setidaknya tidak ditemukan potensi yang berakibat pada kebuntuan hukum serta menghambat tugas-tugas DPRD dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan,” jelas Saldi dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Sementara dalil para Pemohon yang membandingkan jumlah kursi anggota DPRD provinsi dengan jumlah penduduk di atas lima juta orang dengan kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk di atas lima juta orang merupakan perbandingan yang tidak dapat dipersamakan.
Sebab dalam konteks jumlah anggota DPRD kabupaten/kota seharusnya perbandingan dilakukan terhadap jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang lain, bukan terhadap jumlah anggota DPRD provinsi.
Terlebih dalam penentuan dapil kabupaten/kota selain mempertimbangkan faktor agregat kependudukan juga perlu memperhatikan data dan peta wilayah pada selain kabupaten/kota.
Singkatnya, Saldi menyebutkan bahwa alokasi jumlah kursi Dapil Bogor 4 telah ditetapkan sebelum hasil Pemilu 2024 diketahui oleh peserta pemilu. Apabila Mahkamah memenuhi keinginan para Pemohn untuk pemaknaan baru terhadap ketentuan norma yang diujikan Pemohon berarti Mahkamah menciptakan ketidakpastian tahapan dalan penyelenggaraan pemilu yang menciptakan ketidakpastian hukum pemilu dan mengancam prinsip penyelenggaraan pemilu.
“Dengan demikian atas norma a quo yang mengatur alokasi jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat, pemilu yang jujur dan adil serta pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bukan sebagaimana yang didalikan para Pemohon. Sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” sebut Saldi dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.***