Ujang: Kebanyakan Parpol tak Mau Jadi Oposisi, Meski Kalah Tetap Mau Gabung di Pemerintahan Baru

Ujang Komarudin, Pengamat Politik Universitas Al Azhar/foto: instagram ujang komarundin

FTNews, Jakarta— Pengamat politik Ujang Komarudin mengatakan Indonesia membutuhkan pemerintahan yang kuat, stabil, baik secara ekonomi, politik juga keamanan. Namun di saat yang sama juga dibutuhkan oposisi yang kuat dan tangguh.

Namun persoalannya tidak semua Partai Politik mau menjadi oposisi. Karena menjadi oposisi ‘menderita’. “Kalau oposisi itu susah. Jadi komisaris BUMN saja sulit. Bisnis juga seperti itu. Makanya kebanyakan tidak mau,” ujar Ujang dalam diskusi yang digelar Kordinatoriat Wartawan Parlemen bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR di Gedung Abdul Muis DPR, Kamis (7/3/2024)..

Lalu ia pun memberi ilustrasi adanya Ketua Umum Partai Politik yang di tengah jalan masuk ke pemerintahan. Sebelumnya ia berada di luar pemerintahan. “Ternyata ketika dia di luar pemerintahan, tidak diterima. Partai-partai koalisi pemerintahan tidak mendukung. Tapi ketika ia gabung ke pemerintahan, ternyata semuanya cair,” ungkap Ujang.

Dalam konteks kondisi kekinian, lanjut Ujang, pemerintahan Prabowo-Gibran pun membutuhkan stabilitas tadi. Namun di saat yang sama juga diperlukan oposisi yang kuat dan tangguh.

“Skemanya seperti apa? Kita memang tidak mengenal yang namanya oposisi karena kita Presidensial. Tapi di Amerika pun yang juga Presidensial, misalnya, Demokrat berkuasa, ya, Partai Republik menjadi oposisi, begitu pun sebaliknya,” jelas Ujang. “Walaupun mereka (Amerika) terkenal dengan sistem dua kepartaian, walaupun mereka banyak partai, tetapi dua partai yang dominan itu,” tambahnya.

Saat ini, kata Ujang, ia melihat tidak banyak partai yang ingin menjadi oposisi. Walaupun sekarang mereka ada di posisi yang kalah (setelah Pilpres-red), tetap saja, entah di awal (pemerintahan), entah di tengah, tetap saja ada kemungkinan bergabung dengan pemerintahan.

“Karena memang pada dasarnya partai itu dibentuk untuk mendapatkan kekuasaan secara konstitusional. Karena itu, walaupun kalah, tetap saja, entah di awal, entah di tengaj, ada kemungkinan bergabung,” jelasnya.

Itu bisa terlihat di akhir periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Setelah Demokrat akhirnya masuk ke pemerintahan, kini yang oposisi hanya tinggal Partai Keadilan Sejahtera (PKS). “Kalau kita melihat konstruksi parlemen saat ini, sudah 90 persen (Parpol) ada di pemerintahan,” ucapnya.

“Walaupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKBP) saat ini seolah-olah mendorong hak angket, NasDem seolah-olah mendorong hak angket, itu saya memakai istilah seolah-olah, tetapi kita tidak tahu dealnya seperti apa,” ujarnya.

Oleh karena itu ia melihat konstruksi pemerintahan yang baru nantinya akan ada bagi-bagi jabatan. Ia menyebutnya sebagai power sharing. “Itu hal yang biasa dan dimungkinkan dalam politik. Siapa mendapat apa, di taruh di mana. Itu biasa,” katanya.

“Kalau saya petinggi Nasdem, saya mendapatkan menteri berapa kalau gabung, itu wajar,” tambahnya.

Jadi, apakah nanti jalurnya di pemerintahan atau oposisi, itu hanya lah pilihan.  “Menjadi oposisi sama mulia-nya tetapi banyak yang tidak kuat,” tandas Ujang.***

 

 

Tutup