Beranda Berita Terkini Soal Rencana Hak Angket, Jimly: Anggota DPR harus Paham Batas, tak Melebar...

Soal Rencana Hak Angket, Jimly: Anggota DPR harus Paham Batas, tak Melebar ke Pemakzulan Presiden

Prof Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Ilmu Hukum Univ Indonesia/foto: tangkap layar podcast gita wirjawan

FTNews, Jakarta— Rencana penggunaan hak angket untuk mengungkap kecurangan Pemilu 2024 memicu polemic di tengah masyarakat. Pihak-pihak yang tidak setuju mengatakan hal tersebut tidak perlu dilakukan karena sudah ada saluran untuk permasalahan tersebut yakni di Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi.

‘Perseteruan’ antara yang ingin hak angket dan menolak bukan hanya terbatas di Kubu 01-02-03 tapi juga para pakar hukum, khususnya hukum tata negara. Bahkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie pun ikut bersuara.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia ini menyatakan, rencana pengunaan hak angket sebagai proses politik di DPR harus dilihat secara positif  dalam rangka penguatan sistem demokrasi yang berkualitas dan berintegritas.

“Hak angket atau penyelidikan sebagai salah satu sarana pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan, selalu digunakan oleh DPR di masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SB. Yudhoyono. Hanya di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, hak angket DPR belum pernah digunakan,” ujar Jimly dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (24/2/2024).

Hak angket oleh DPR, ujarnya, mencerminkan berjalannya fungsi ‘checks and balances’ antar cabang kekuasaan eksekutif vs legislatif sebagai perwujudan sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.

Namun demikian, papar mantan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstotusi ini, para anggota DPR sebagai peserta Pemilu harus memahami batas-batas kewenangannya terkait dengan pelaksanaan hak angket dengan mempertimbangkan sungguhnya tentang maksud dan tujuan serta substansi isu yang hendak diputuskan, tidak melebar kepada isu-isu liar, seperti pemakzulan Presiden, pembatalan hasil Pemilu, dan lain-lain yang dapat dinilai memenuhi unsur sebagai tindakan makar yang diatur dalam KUHP,.

Juga, harus mempertimbangkan aspek ‘timing’ dan jadwal waktu yang tersedia, sehingga pelantikan anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang telah ditentukan benar-benar tidak terganggu untuk menjamin jangan sampai terjadi kevakuman kekuasaan menurut UUD 1945.

Sama-sama Penting

Di sisi lain, proses hukum penyelesaian perkara melalui peradilan administrasi di Bawaslu dan PT-TUN, peradilan pidana Pemilu di peradilan umum, dan peradilan hasil Pemilu di MK harus pula dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menyalurkan aspirasi ketidak-puasan terhadap proses dan terhadap hasil Pemilu.

Proses politik dan hukum sama-sama penting untuk memindahkan ketidak-puasan dan kemarahan publik terhadap proses dan hasil Pemilu, terutama hasil Pilpres, melalui mekanisme yang resmi ke ruang-ruang sidang yang resmi di DPR, atau pun di Bawaslu dan di Mahkamah Konstitusi.

“Mari kita saksikan kedua proses itu dengan positif, sabar, dan dengan kepercayaan dan sikap optimis bahwa dinamika ketegangan dan luapan emosi publik, pada waktunya, akan reda dan mulai tanggal 1 dan tanggal 20 Oktober 2024 akan menghasilkan pemerintahan baru yang dapat bekerja dengan sebaik-baiknya menurut konstitusi dan aturan hukum dan etika penyelenggaraan pemerintahan yang berlaku dengan dukungan fungsi pengawasan yang efektif dari parlemen dan fungsi peradilan yang terpercaya dari cabang kekuasaan kehakiman,” papar Jimy.

Tentu para pihak aktif berperan dengan tanggung jawabnya masing-masing dalam lembaga DPR, di KPU, Bawaslu, DKPP, di MK dan MKMK dan lembaga lain yang terkait, perlu bekerja semakin aktif dengan sikap dan tekad untuk bekerja independen, imparsial, professional, transparan, dan berintegritas, serta jelas terlihat tampil di mata publik sungguh-sungguh bersikap independen, imparsial, professional, transparan, dan berintegritas, dalam bidang tugasnya masing-masing.

“Mari turunkan emosi kita, dan tingkatkan semangat musyawarah kita menemukan kebenaran dan keadilan dari aneka perbedaan karena perbedaan data dan informasi, perbedaan perspektif atau sudut pandang, atau perbedaan kepentingan, yang ketiganya dapat dipertemukan dengan musyawarah dan pedebatan rasional di ruang sidang untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kemajuan peradaban dalam kehidupan berbangsa bernegara,” pungkasnya.***

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini