Riset TSRC Beberkan Menguatnya Split-Ticket Voting dalam Pemilu 2024

Diskusi hasil riset TSRC tentang menguatnya Split-Ticket Voting pada Pemilu 2024, Jumat (17/5/2024)/foto: tangkap layar

FTNews, Jakarta— Riset dari The Strategic Research and Consulting (TSRC) menemukan fenomena split-ticket voting (STV) pada Pemilihan umum (Pemilu) 2024.

“Meski perhelatan Pemilu 2024 sudah selesai, namun masih menyisakan beberapa pertanyaan salah satunya adalah mengapa kontestasi Pemilu tahun ini menguatkan potensi Split-Ticket Voting? Pada Pemilu 2019 tidak signifikan namun kemudian di Pemilu 2024 kita melihat menguat kemunculan Split-Ticket Voting,” papar Direktur Eksekutif TSRC Yayan Hidayat, Jumat (17/5/2024) dalam diskusi hasil penelitian tentang menguatnya STV dalam Pemilu 2024.

STV adaah pemilih membagi suaranya antara memilih pada Pileg dan Pilpres. Pemilih cenderung melakukan pembagian suara pilihan dengan memilih partai politik atau calon legislatif tertentu, namun tidak memilih pasangan yang diusung oleh partai politik tersebut.

“Dibanyak tempat juga kami menemukan adanya STV. Misalnya, pemilih PDIP  belum tentu memilih Ganjar Pranowo-Mahfud Md yang diusung PDIP.

“Apa faktor yang membuat pemilih membagi pilihannya pada pelaksanaan Pemilu 2024? Penelitian ini hendak menjawab pertanyaan tersebut dengan mengambil dua studi kasus Daerah Pemilihan, yakni Daerah Pemilihan Jawa Timur V dan DKI Jakarta III,” ucap Yayan.

Dalam penelitian ini, tambahnya, menemukan bahwa perolehan suara partai politik yang tergabung dalam koalisinya masing-masing tidak selalu menunjukkan linieritas pada hasil suara pemilihan eksekutif.

Ia memberi contoh, perolehan suara PDI Perjuangan lebih besar dari yang diperoleh pasangan Ganjar-Mahfud. Itu ditemukan di antara di Jateng, juga di Jawa Timur V.

“Secara nasional kita menemukan koalisi Ganjar-Mahfud ini yang lebih besar Split-Ticket Voting-nya yakni kami temukan selisih 6,10 persen. Yang artinya, suara PDIP yang 6,10 persen ini pada Pilpres memilih kandidat lain, entah itu memilih pasangan Prabowo-Gibran atau Anies-Muhaimin,” papar Yayan.

Pengaruh Empat Faktor

Sementara itu, Peneliti TSRC Erry Ike Setiawan mengatakan empat faktor yang dapat menjelaskan terjadinya STV pada Pemilu 2024. Pertama, efek kontaminasi dimana kader partai tak sejalan dengan pilihan politik partai dalam kancah Pilpres dan Pileg. Kata dia, setiap calon Legislatif di setiap tingkatan pemilihan selalu mempertimbangkan aspek kontaminasi, jika mengampanyekan pasangan capres dan cawapres yang diusung oleh partai politik atau koalisinya.

“Jika capres dan cawapres tersebut unggul di daerah pemilihannya, maka caleg tersebut cenderung masif mengampanyekannya. Sebaliknya, jika capres dan cawapres tersebut tidak unggul atau kuat, maka caleg tersebut cenderung menghindari efek kontaminasi negatif,” ungkapnya.

Faktor kedua, lanjutnya, aspek komposisi pasangan calon. Dimana pada Pemilu 2019, kekuatan politik hanya terkanalisasi pada dua poros saja, yakni Koalisi Indonesia Maju dan Koalisi Indonesia Adil-Makmur.

Hal itu kemudian membuat pilihan politik pemilih menjadi homogen dan cenderung linier antara pilihan terhadap partai politik dan pilihan terhadap pasangan capres dan Cawapres yang diusung oleh partai politik yang tergabung dalam koalisi tersebut.

“Namun sebaliknya, pada Pemilu 2024 kontestasi justru berlangsung cukup sengit, yang mana terdapat tiga poros politik yang saling bersinggungan satu sama lain, sehingga membuat pilihan politik menjadi dinamis dan cair,” katanya.

Faktor ketiga, kata dia, pengaruh kefiguran dan rendahnya Party ID. Dia menjelaskan menguatnya pengaruh kefiguran yang beriringan dengan rendahnya Party ID, membuat pemilih tidak lagi mengidentifikasi pilihan capres dan cawapres berdasarkan kedekatan dengan partai politik.

Hal itu yang membuat preferensi terhadap partai politik tidak selalu sejalan dengan preferensi terhadap capres dan cawapres yang diusung oleh partai politik tersebut. Pemilih lebih mempertimbangkan aspek rasionalitas, seperti program yang ditawarkan, popularitas figur hingga aspek untung-rugi dalam memilih pasangan capres dan cawapres.

Kemudian, faktor keempat yakni aspek economic voting, yang ditandai dengan tingginya kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi dan liniearitas dukungan pemilih Jokowi terhadap pasangan Prabowo–Gibran.***

 

Tutup