FTNews, Jakarta— Uji Materiil terkait aturan Presidential Threshold (PT) sudah memasuki enam kali persidangan di Mahkamah Konstitusi. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu pihak yang terkait dengan uji materiil perkara ini, selain Partai Bulan Bintang (PBB).
Dikutip dari mkri, PKS yang diwakili oleh Agoes Poernomo selaku kuasa hukum dalam persidangan menjelaskan, ide dasar untuk menetapkan ambang batas (threshold) tinggi dalam pemilihan presiden didasari oleh beberapa alasan utama.
Pertama, ambang batas tinggi ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mengorganisasi partai politik secara lebih efektif, serta mendukung penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen.
Kedua, tujuannya juga untuk menyederhanakan proses pengambilan keputusan. Para penyusun, termasuk pihak pemerintah, mengacu pada naskah akademik yang disusun oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM.
Naskah tersebut menyoroti bahwa sistem multipartai seringkali menghambat proses pengambilan keputusan karena terlalu banyak pandangan yang harus didengarkan dan dipertimbangkan.
Sebagai contoh, sambungnya, dalam pembahasan undang-undang di DPR, apabila terdapat 10 fraksi, maka setiap fraksi memberikan pandangannya, dengan durasi rata-rata sekitar 30 menit per fraksi.
Artinya, satu isu harus melewati 10 pandangan berbeda, yang menyebabkan proses menjadi panjang dan kurang efisien. Sebaliknya, di negara-negara seperti Amerika Latin, jumlah pandangan fraksi biasanya berkisar antara 1 hingga 7, sehingga proses pengambilan keputusan menjadi lebih cepat dan efektif.
“Nah karena itu, kemudian kita berpikir saat itu satu sisi pengambilan keputusannya harus efektif, yang keduanya, pemerintahnya juga kuat karena presidensial itu mensyaratkan keadaan politik yang stabil. Tapi gejala sosiologisnya saat itu, Yang Mulia, memang kita mengalami satu hal yang menurut beberapa pakar itu terjadi faktual. Jadi yang terjadi adalah sistem kita presidensial, tetapi perilaku politiknya itu parlementer,” ujarnya di persidangan Rabu (6/11/2024), dilansir mkri
Agoes menambahkan ide tentang presidential threshold adalah ide untuk menjamin bahwa pemerintahan itu kuat, efektif, dan berjalan, sebagaimana fungsinya.
“Yang kedua, tidak diganggu oleh parlemen kira-kira begitu. Tetapi kita harus menyadari pada saat itu bahwa pemerintahan situasi saat itu perilaku kita di parlemen memang menjadikan posisi jumlah kursi kita itu untuk bagian dari bargaining dengan pemerintah, bagian dari pemerintah. Tapi itu dinamika politik yang tidak terhindarkan,” ucapnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.
PT Merugikan, Hanya Bisa Diakses Para Elit
Sebelumnya, Pemohon perkara dengan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan, yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga menyatakan Para Pemohon mengalami kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal UU Pemilu, terkait keberadaan presidential threshold (PT) yang mengatur persyaratan calon presiden untuk mengumpulkan sejumlah dukungan politik tertentu.
Para Pemohon melihat hal ini sebagai langkah yang merugikan moralitas demokrasi para Pemohon sehingga hak para Pemohon untuk memilih Presiden yang sejalan dengan preferensi atau dukungan politiknya menjadi terhalang atau terbatas.
Sementara Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 empat dosen yang menjadi Pemohon perkara ini antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad.
Mereka juga menjadi penggiat pemilu menganggap pengaturan ambang batas menjadikan hak mengusung calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diakses para elit pemilu yang memiliki persentase tinggi pada pemilu sebelumnya dan menutup akses bagi partai politik peserta pemilu dengan persentase rendah yang tidak ingin berkoalisi.
Kemudian, Pemohon Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 ini adalah Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) serta perorangan Titi Anggraini (Pemohon II).
Menurut para Pemohon, terdapat inkonsistensi antara tujuan pemberlakuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dengan fakta empirik di lapangan serta adanya dampak destruktif terhadap sistem presidensial yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 222 UU Pemilu dimaknai menjadi, “Pasangan Calon diusulkan oleh: a. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memiliki kursi di DPR; b. Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dan Partai Politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; atau c. Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah Partai Politik Peserta Pemilu anggota DPR.”
Atau para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR;
b. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik peserta pemilu memiliki kursi di DPR dan Partai Politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; dan c. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.***