Pemohon Minta Kotak Kosong Diatur dalam UU Pilkada dan UU DKJ
FTNews, Jakarta— Para Pemohon Perkara Nomor 125/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonan mengenai pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada). Para Pemohon meminta kotak kosong (blank vote) diakomodasi dalam tujuh pasal, lima pasal yang ada dalam UU Pilkada dan dua pasal lagi dalam UU Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
“Karena sebetulnya ketujuh pasal ini berbicara mengenai yang sama yaitu kami memohon agar blank vote diakomodir dalam seluruh pasal-pasal ini,” ujar salah satu Pemohon, Raziv Barokah (Pemohon III) dalam sidang perbaikan permohonan pada Kamis (10/10/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, dilansir mkri
Dia menguraikan ketiadaan kotak kosong dalam desain surat suara yang diatur Pasal 79 ayat (1) UU Pilkada, ketiadaan kotak kosong dalam kategorisasi suara sah dalam Pasal 85 ayat (1) Pasal 94 UU Pilkada, serta ketiadaan blank vote dalam batas keterpilihan kepala daerah Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 UU Pilkada.
Termasuk juga menjelaskan ketiadaan kotak kosong dalam batas keterpilihan kepala daerah untuk Provinsi Daerah Khusus Jakarta dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) UU DKJ. Menurutnya, terdapat Pemohon yang merupakan warga Jakarta sehingga penting juga menguji pasal UU DKJ.
Jika Kotak Kosong Menang
Sebagaimana nasihat para hakim konstitusi, para Pemohon menguraikan jalan keluar apabila kotak kosong memenangkan pemilihan. Raziv menyebutkan hal itu dapat diatasi sebagaimana pengalaman penerapan blank vote/kotak kosong dalam pemilihan yang diikuti hanya satu pasangan calon yang konsekuensinya adalah pemilihan ulang di tahun berikutnya apabila kotak kosong menang.
Jika blank vote menang kembali setelah pemilihan ulang tersebut, para Pemohon menggunakan praktik yang pernah terjadi pada pemilihan ulang wali kota di Kolombia pada 2011. Raziv mengatakan, terjadi rekonfigurasi dukungan partai politik pada pemilihan ulang tersebut, sehingga pada pemilihan ulang yang terpilih bukan blank vote lagi tetapi pasangan calon yang dianggap lebih mempresentasikan kehendak masyarakat umum.
Hal yang sama juga terjadi pada Pemilihan Wali Kota Makassar pada 2018 lalu. Pemilihan dimenangkan kotak kosong yang melawan calon tunggal. Pada pemilihan ulang di tahun berikutnya, Raziv menyebutkan rekonfigurasi politik yang sangat tinggi sehingga pada pemilihan ulang terdapat empat pasangan calon yang diramaikan dengan figur-figur yang memiliki elektabilitas tinggi.
“Figur-figur yang memiliki elektabilitas tinggi yang sebelumnya gagal berkontestasi, bahkan di pemilihan ulang itu berhasil memenangkan pilkada ulang tersebut. Jadi secara praktik sebetulnya tidak perlu dikhawatirkan bahwa akan terjadi kondisi di mana berkali-kali blank vote menang sehingga tidak menghasilkan pemerintahan yang dipilih oleh rakyat,” jelas Raziv.
Dia melanjutkan, jikapun blank vote menang berkali-kali dalam pemilihan ulang, maka bagi para Pemohon hal tersebut merupakan harga yang harus dibayar oleh pemangku kepentingan karena tidak mampu bekali-kali menyerap aspirasi atau hal yang dikehendaki masyarakat secara umum. Namun, para Pemohon meyakini hal itu akan minim terjadi.***