Pemohon Menyoroti Makna Perbuatan Tercela dalam Syarat Pemakzulan Presiden
FTNews, Jakarta— Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang dari permohonan Marthen Y. Siwabessy yang mengajukan pengujian Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi.
Melalui Anggie Tanjung selaku kuasa hukum menyebutkan Pemohon menambahkan teori dari para ahli hukum tata negara untuk memperkuat argumentasi kewenangan Mahkamah dalam pengujian dalil yang dimohonkan. Kemudian Pemohon memperkuat legal standing tentang aturan pada Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) guna mempertegas kedudukannya dalam perkara ini.
“Kami juga menambahkan teori dan doktrin dari ahli hukum bahwa permohonan ini bukanlah mengubah konstitusi Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (4) UUD 1945. Kami memohon agar MK berkenan memberikan penafsiran konstitusional atas frasa “perbuatan tercela” tanpa mengubah Pasal 7A UUD NRI 1945,” sebut Anggie atas Perkara Nomor 140/PUU-XXII/2024 yang disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan didampingi Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, dilansir mkri
Dalam petitum perbaikannya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk tidak mengikutsertakan Anwar Usman dalam agenda sidang pemeriksaan awal, Rapat Permusyawaratan Hakim, dan sidang putusan permohonan ini.
Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan penafsiran secara gramatikal, penafsiran secara historikal, penafsiran secara sosiologis, penafsiran restruktif, penafsiran etikal, penafsiran secara sistematis, penafsiran secara harfiah, dan penafsiran autentik terhadap frasa perbuatan tercela sebagaimana terdapat di dalam norma Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945.
Sebelumnya, dalam Sidang Pendahuluan pada Rabu (9/10/2024),Pemohon Perkara Nomor 140/PUU-XXII/2024 mendalilkan frasa tersebut berpotensi merugikan hak konstitusionalnya karena ia tidak dapat menggunakan hak konstitusional untuk memberikan penilaian secara objektif terhadap perilaku dan pernyataan-pernyataan Presiden dan/atau Wakil Presiden akibat tidak adanya kejelasan dan kelengkapan rumusan serta batasan yang tegas dari frasa perbuatan tercela yang terdapat di dalam pasal tersebut.
Terkait hal ini, Pemohon berpendapat kekuasaan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus ada batasan, termasuk pula pada pemaknaan frasa “perbuatan tercela” harus memiliki kejelasan dan kelengkapan rumusan serta batasan yang tegas.
Pemohon berpendapat dengan adanya batasan yang tegas terhadap frasa “perbuatan tercela” tersebut, Presiden dan/atau Wakil Presiden akan mengerti dan mampu memahami segala perilaku dan pernyataan-pernyataan yang dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan tercela menurut konstitusi.
Dengan demikian, kehidupan berbangsa dan bernegara serta pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara dapat terselenggara dengan lebih baik. ***
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan