Pakar Psikologi Forensik Khawatirkan Joget Gemoy Prabowo Jadi Senjata Makan Tuan
FTNews, Jakarta — Calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto menjadi sorotan publik, khususnya di areal Debat Capres perdana yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), Senin (12/12/2023) malam.
Capres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) itu belakangan dikenal dengan gimmick ‘Jodet Gemoy’ yang menjelang Pilpres 2024 melekat pada Menteri Pertahanan itu. Namun cawapresnya, Gibran Rakabuming Raka menyebut jika hal itu bentuk kebahagiaan kenapa harus diperdebatkan.
Menanggapi fenomena tersebut, pakar psikologi forensik Reza Indrari Amriel justeru sangat mengkhawatirkan dan Prabowo yang secara berulang dilakukan tanpa memperhatikan konteks pertanyaan rivalnya di acaea debat capres.
“Sekarang bukan kondisi fisik Prabowo yang saya khawatirkan. Toh dia sudah menjalani pemeriksaan di rumah sakit. Joget berulang tanpa memperhatikan konteks acara,” kata Reza kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Sebagai orang yang mendukung Prabowo pada dua kali Pilpres, Reza mengaku terpukau oleh kegesitan Prabowo di tahun 2014 dan 2019.
Harus diakui, katanya, joget “gemoy” Prabowo menjadi strategi branding dalam rangka meyakinkan publik bahwa mereka sehat.
Dilakukan Trumpt dan Yeltsin
Apa yang dilakukan Prabowo, kata Reza pernah dilakukan Donald Trump (Presiden Amerika Serikat ke-45) pada tahun 2019 setelah dinyatakan lolos dari serangan COVID-19.
Begitu juga, Boris Yeltsin (Perdana Menteri Rusia era 90-an), yang dikenal mempunyai riwayat penyakit jantung juga melakukan hal serupa pada tahun 1996.
Dia menyebut, dua tokoh itu, berjoget untuk meyakinkan publik kalau dirinya sehat. Karena sehat, target Trump dan Yeltsin, masyarakat tidak ragu akan kesanggupan mereka memimpin Amerika Serikat dan Rusia.
Dari dua pendekatan itu, kata Reza, masuk akal jika Prabowo, dengan usianya yang sudah lanjut dan kondisi kesehatannya yang jauh dari prima, melakukan pendekatan serupa guna mempengaruhi persepsi publik.
“No problem. Setiap kontestan Pilpres boleh bikin siasatnya masing-masing,” ujarnya.
Berbeda dengan Prabowo, lanjut dia, Trump dan Yeltsin bergoyang asyik cuma di saat berada di panggung dan ketika musik mengalun. Itu pun hanya satu-dua kali.
Keduanya tidak menjadikan joget sebagai strategi branding yang dipertontonkan terus menerus. Sementara joget gemoy Prabowo justeru ditampakan terus menerus. Ini yang dikhawatirkan.
Dalam Debat Capres misalnya, Prabowo saat ditanya hal serius, tanpa jawaban tuntas, Prabowo justru “menggenapi” jawabannya dengan berjoget.
Joget berulang tanpa memperhatikan konteks acara, kata Reza, ditambah pernyataan-pernyataan Prabowo yang serba engambang dan terputus, itulah yang membuatnya waswas akan satu hal, yaitu executive functioning Prabowo.
Ia menjelaskan, executive functioning bersangkut-paut dengan kesanggupan manusia mengelola informasi lalu membuat keputusan yang solid.
Joget Prabowo terkesan sebagai bentuk kompensasi, sekaligus pengalihan perhatian audiens, atas menurun jauhnya kemampuan Prabowo berpikir strategis dan tuntas di level tertinggi pejabat negara.
Dia mengingatkan strategi branding lewat joget juga berpotensi menjadi senjata makan tuan. Ketika orang-orang di sekitar Prabowo terus mengarahkan Prabowo untuk berjoget.
“Itu berarti mereka bukan melatih Prabowo untuk memulihkan executive functioning-nya, melainkan justru mempertumpul kapasitas kognitif Prabowo,” jelasnya.
Warning: Undefined variable $args in /www/wwwroot/pemilunesia.com/wp-content/themes/umparanwp/widget/widget-related.php on line 47
