Ftnews.co.id, Jakarta – Tampaknya hubungan PDI Perjuangan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin panas. Sikap Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri yang mulai keras menjadi indikasi. Akankah tekanan partai berlambang banteng moncong putih itu menandakan sinyal menjadi oposisi?
Politik begitu dinamis. Semua didasarkan pada kepentingan. Namun tidak ada yang mustahil. Calon presiden (capres) Prabowo Subianto, misalnya. Dua kali dikalahkan Jokowi dalam pemilihan presiden (Pilpres). Namun Ketua Umum Partai Gerindra itu bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi jilid II.
Terlepas itu menjadi strategi Prabowo untuk menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia ini, bisa jadi sikap keras PDI Perjuangan terhadap Jokowi berbeda. Megawati sebagai ketua umum masih menjadi pengendali arah politik partai ‘wong cilik’ ini.
Jika PDI Perjuangan gagal meraih kursi presiden, kemungkinan besar tidak akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran. Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PDI Perjuangan berada di luar pemerintah menjadi pengontrol atau oposisi. Sikap partai berwarna merah ini tak lepas dari retaknya hubungan SBY dengan alm Taufik Kiemas di masa pemerintahan Megawati periode 2001 – 2004.
Sikap PDI Perjuangaan saat ini pun tampaknya tidak jauh berbeda. Meski partai yang bermarkas di Dipenogoro ini belum tegas memposisikan diri dengan pemerintah saat ini mengingat delapan kadernya masih berada dalam kabinet Jokowi.
Apakah sikap Megawati sebagai strategi untuk merebut simpatisan Jokowi menjadi pendukung Ganjar? Masih perlu dibuktikan tentunya. Hanya yang jelas, sikap PDI Perjuangan yang mulai keras ini tentu sudah diperhitungkan konsekuensinya.
Sekali pun Ganjar Pranowo yang nantinya kemungkinan kalah suara dengan Prabowo, tampaknya PDI Perjuangan sudah siap menjadi oposisi. Karena bagi PDI Perjuangan menjadi oposisi bukan hal baru.
Bagaimana partai politik lainnya?
Partai politik lain yang kemungkinan mengambil jarak adalah NasDem. Kasus mantan Menteri Kominikasi dan Informasi Johnny G. Plate dan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo kemungkian menjadi dasar pertimbangan NasDem bersikap sama dengan PDI Perjuangan.
Sedangkan PKS masih fifty fifty. Hubungan PKS dengan Prabowo atau Partai Gerindra relatif tak masalah. Keduanya pun pernah menjalin koalisi ketika Prabowo berhadapan dengan Jokowi dua kali Pilpres. Besar kemungkinan PKS akan masuk koalisi Prabowo pasca Pilpres 2024.
Demikian juga dengan PKB yang pernah bersama Prabowo. Tak ada masalah yang krusial membuat retaknya hubungan kedua partai ini. Kemungkinan partai yang diketuai Muhaimin Iskandar ini bergabung dengan Prabowo pasca Pilpres sangat terbuka.
Sementara Partai Pesatuan Pembangunan (PPP) kemungkinan dapat bermigrasi bersatu dengan Prabowo. Survei Indikator Politik Indonesia menyebutkan sebagian kader partai berlambang Ka’bah ini lebih condong ke arah Prabowo. Meski PPP pernah mendampingi Megawati sebagai wakil presiden. Apalagi partai berwarna hijau ini belum pernah sebagai opisisi.
Berdasarkan survei Indikator terdapat sembilan partai politik yang berpotensi lolos ambang batas empat persen, yakni PDI Perjuangan (24,1 persen), Gerindra (14,4 persen), Golkar (9,3 persen), PKB (7,7 persen), NasDem (7,0 persen), PKS (6,2 persen), Demokrat (5,2 persen), PAN (4,3 persen), dan PPP (3,0 persen).
Jika PDI Perjuangan bersama NasDem menjadi oposisi suaranya mencapai 31 persen. Sedangkan Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, sebagai Koalisi Indonesia Maju (KIM) total 33,2 persen.
Jika PKB, PKS, dan PPP juga bergabung dengan KIM pasca Pilpres tentu menambah kekuatan pemerintahan Prabowo-Gibran. Karena total suaranya mencapai hampir 50 persen.
Dengan modal suara yang besar, pemerintahan Prabowo dapat berjalan efektif. Karena didukung partai politik di parlemen. Dalam sistem presidensial, eksekutif membutuhkan dukungan kuat dari legislatif agar roda pemerintahan berjalan efektif. Meski tidak bisa dikatakan mudah.
Peneliti sekaligus pakar politik Jayadi Hanan mengatakan, memperkuat sistem presidensial sangat terkait dengan tersedianya dukungan politik yang memadai di lembaga legislatif bagi seorang presiden.
“Dukungan yang memadai itu dimaknai secara operasional sebagai dukungan mayoritas (50 persen lebih) atau hampir mayoritas (mendekati 50) persen,” ujar Hanan.
Menurut Hanan, jika presiden memiliki dukungan kurang dari ambang batas tersebut, maka sulit bagi seorang presiden untuk menjalankan agenda‐agenda pemerintahannya.
“Akibatnya adalah kurang atau tidak berfungsinya sistem presidensial, atau lebih buruk lagi bisa berujung pada kegagalan pemerintahan,” tukas Hanan dalam risetnya.
Hasil Pemilu serentak 2024 masih terbuka kemungkinan suara partai politik berubah. Hanya yang jelas, berdasarkan berbagai lembaga survei, jika Pilpres diselenggarakan per hari ini Prabowo akan memenangkan dan menjadi Presiden RI ke-8. Akankah hasil survei juga terbukti pada hasil Pilpres 2024? Mari kita lihat.