Ftnews.co.id, Jakarta – Pemilu serentak pada 2024 ini merupakan kali kedua diselenggarakan Indonesia. Pemilu serentak 2024 menjadi harapan bagi partai politik pengusung calon presiden (capres) untuk mendulang suara di parlemen. Apakah harapan itu akan terwujud?
Pemilu serentak dimulai pada 2019 sebagai pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi No. 14 tahun 2019 dan Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pemilu serentak dilakukan bersamaan antara Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) yang diharapkan menguatkan sistem presidensial melalui dukungan parpol pengusung di parlemen.
Dalam naskah akademis RUU No. 7 tahun 2017 disebutkan Pemilu serentak bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pemerintahan dengan asumsi pemerintahan yang dihasilkan melalui keserentakan Pilpres dan Pileg lebih stabil.
Hal tersebut sebagai dampak coattail effect, yakni keterpilihan capres yang dari parpol atau koalisi parpol tertentu akan berdampak pada keterpilihan anggota legislatif dari parpol atau koalisi parpol tertentu pula.
Dengan demikian, Pemilu serentak dapat mengatasi konflik eksekutif-legislatif, instabilitas, dan bahkan jalan buntu politik sebagai komplikasi skema sistem presidensial berbasis sistem multipartai. Artinya, penyelenggaraan Pemilu serentak berpotensi memperbesar dukungan politik di DPR terhadap presiden terpilih.
Hasil riset Dody Wijaya, mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Politik, Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa Pemilu serentak 2019 tidak berpengaruh terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia.
“Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Pemilu serentak 2019 tidak mencapai tujuan yang ditetapkan putusan Mahkamah Konstitusi maupun UU No 7 Tahun 2017 untuk memperkuat sistem presidensial di Indonesia,” ujar Dody seperti dikutip Jurnal Politik Indonesia dan Global “INDEPENDEN” volume 2 No.2 Oktober 2021.
Studi Mark Payne Jones (1994) menyimpulkan waktu penyelenggaraan Pipres dan pemilu legislatif yang dilaksanakan serentak menjadi faktor penting untuk menghasilkan dukungan legislatif mayoritas terhadap presiden.
Dukungan legislatif terhadap ekskutif pada Pemilu serentak diharapkan menghasilkan coattail effect yakni keselarasan pilihan pemilih antara pilihan presiden dan memberikan suara pada parpol pendukung presiden di pemilu legislatif.
Coattail effect adalah pengaruh figur atau tokoh dalam meningkatkan suara partai di Pemilu. Calon presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon.
Pada Pilpres 2019, pasangan Jokowi-Ma’ruf diusung partai koalisi PDI-P, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, PPP dengan dukungan kursi sebesar 60,3 persen. Jokowi-Ma’ruf memenangkan Pilpres dengan suara 55,50 persen, sedangkan Prabowo-Sandi memperoleh 44,5 persen suara.
Namun dalam pemilu legislatif partai koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf hanya mendapatkan dukungan kursi di parlemen sebesar 60,7 persen. “Hal ini menunjukkan, kemenangan Jokowi-Ma’ruf sebagai presiden dan wakil presiden hanya menaikkan angka dukungan 0,4 persen bagi partai pendukungnya di parlemen,” tukas Dody.
Sedangkan partai oposisi yang terdiri dari Partai Gerindra (sebelum bergabung dengan pemerintah pasca pemilu), Partai Demokrat, PAN, PKS mendapatkan dukungan kursi di parlemen sebesar 39,3 persen.
Menurut Dody, temuan awal dari hasil pemilu serentak 2019 dan perbandingannya dengan pemilu tidak serentak (2004-2014), menunjukkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap suara yang diraih partai pendukung presiden di parlemen.
Dalam analisisnya, Dody mengatakan, PDI Perjuangan sebagai partai pengusung dan pendukung utama calon presiden nomor urut 01 hanya mendapatkan efek kenaikan perolehan suaranya kurang dari 1 % secara nasional. Demikian juga Partai Gerindra sebagai partai pengusung dan pendukung utama calon presiden nomor urut 02.
“PDI-P hanya mengalami kenaikan tipis 0,38 dan Partai Gerindra juga sama hanya mengalami kenaikan sebesar 0,76 persen,” kata Dody.
Partai pengusung pasangan Jokowi-Ma’ruf yang mengalami kenaikan paling tinggi adalah Nasdem sebesar 2,37 persen. Sedangkan partai pengusung pasangan Prabowo-Sandi yang mengalami peningkatan paling tinggi PKS, yaitu 1,42 persen.
“Sedangkan pada partai-partai anggota koalisi lainnya memperoleh dampak efek ekor jas tergantung pada kuat lemahnya asosiasi mereka dengan sang formatur koalisi di mata publik pemilih juga tidak terbukti,” papar Dody.
Menurut Dody, proyeksi terjadinya diffused coattail effect bagi partai politik yang mengusung pasangan capres ternyata tidak terbukti. Berdasarkan hasil analisa data dari hasil pemilu serentak 2019 di tingkat nasional (DPR), coattail effect tidak terjadi.
Jumlah suara yang diperoleh 10 parpol pendukung Jokowi-Ma’ruf pada pemilu legislatif mencapai 62,01 persen. Sedangkan jumlah suara pemilu presiden yang diperoleh pasangan 01 mencapai 55,50 persen. Hal ini dapat dianalisis bahwa terdapat 6,51 persen dari pemilih koalisi partai pendukung Jokowi-Ma’ruf yang memilih Prabowo-Sandi.
“Melihat data perolehan suara, koalisi partai pengusung presiden terpilih memang mendapatkan mayoritas kursi DPR sebesar 60,7 persen kursi. Namun dari analisis coattail effect maupun diffuset coattail effect yang tidak terjadi,” jelas Dody.
Menurut Dody, hal tersebut karena sejak awal jumlah partai koalisi yang mengusung dan mendukung pasangan capres terpilih (Jokowi-Ma’ruf) memang sudah banyak atau besar yakni sebesar 60,3 persen.
“Kenaikan prosentase perolehan kursi hanya 0,4 persen membuktikan tidak signifikannya pengaruh kemenangan presiden terpilih dengan keterpilihan partai pendukung presiden di parlemen,” ujar Dody.
Pada Pemilu 2024, terdapat tiga pasangan capres. Pertama, pasangan capres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dari Koalisi Perubahan diusung NasDem, PKB, dan PKS. Kedua, pasangan capres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dari Koalisi Indonesia Maju diusung Partai Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, Gelora, Garuda, dan Prima. Ketiga, pasangan capres Ganjar Pranowo-Mahfud MD diusung PDI Perjuangan, PPP, Perindo, dan Hanura.
Akankah Pilpres 2024 berdampak pada keterpilihan partai politik pengusung di parlemen pada Pemilu serentak 2024? Pada Pipres 2024 nyaris figur capres belum menjadi faktor penentu kemenangan seperti pada Pilpres 2019.
Saat itu figur Joko Widodo sebagai capres nomor urut 01 masih dominan. Saat ini ketiga figur capres memiliki figur yang hampir sama. Karena figur Presiden Jokowi masih berpengaruh terhadap elektoral pada Pilpres 2024. Mari kita nantikan bersama.