Beranda Berita Terkini Mahfuz Sidik Dorong Pemerintah-DPR Evaluasi serta Harmonisasi Paket UU Politik

Mahfuz Sidik Dorong Pemerintah-DPR Evaluasi serta Harmonisasi Paket UU Politik

Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik /Foto: dok partai gelora

FTNews, Jakarta— Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Mahfuz Sidik mengatakan, Partai Gelora tidak menduga jika gugatan yang ke Mahkamah Konstitusi (MK) bersama Partai Buruh soal ambang batas pencalonan kepala daerah menimbulkan turbulensi politik yang dashyat, mengubah peta Pilkada 2024.

“Ibarat orang naik pesawat lagi tenang-tenangnya mau disajikan makanan, tiba-tiba turbulensi. Pesawat turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 4.000 kaki. Anjloknya luar biasa, semua orang dan makanannya terhempas. Kami di Partai Gelora tidak memprediksi ini terjadi,” kata Mahfuz Sidik, Sekretaris Jenderal Partai Gelora dalam diskusi Gelora Talks, Rabu (28/8/2024) sore.

Juga hadir dalam diskusi tersebut Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Direktur Eksekutif Indobarometer Muhammad Qodari, Ketua KPU RI Periode 2021 – 2022 Ilham Saputra. Sebagai host, Dedi Miing Gumelar, Wakil Sekjend DPN Partai Gelora Indonesia.

Dalam diskusi dengan tema “Pilkada 2024 Pasca Putusan MK: Kemana Kehendak Rakyat?” itu, Mahfuz mengungkapkan awal mula muncul ide untuk menggugat ambang batas pencalonan kepala daerah, usai Partai Gelora dinyatakan tidak lolos ke Senayan karena tidak memenuhi threshold parliamentary (PT) 4 persen.

“Usai Pileg dan Pilpres, Partai Gelora  waktu itu sudah diputuskan oleh KPU tidak lolos 4%. Lalu, kita mikir apalagi yang harus kita kerjain agar segera beralih ke agenda Pilkada. Kita temukan ada klausul dalam pasal 40 ayat 3 UU Pilkada, bahwa yang berhak mencalonkan kepala daerah yang punya kursi. Itu yang kita gugat,” ujarnya.

Kemudian pada bulan April, Partai Gelora mengajak diskusi partai poltik  yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 % kursi dan 25 % suara untuk mengajukan gugatan, karena mereka juga memiliki kursi di DPRD I dan DPRD II.

“Awalnya ada 4 partai yang mau ajukan judicial rewiew, tapi kemudian tinggal Partai Gelora dan Partai Buruh yang mengajukan. Tanggal 21 Mei kemudian kita ajukan gugatannya ke Mahhamah Konstitusi,” jelasnya.

Mahfuz tidak yakin dan pesimis gugatannya bakal dikabulkan, karena hingga bulan Juli, MK terus meminta perbaikan gugatan, sementara masa pendaftaran Pilkada pada bulan Agustus.

“Kita agak ragu-ragu berkaca dari hasil gugatan kita soal Pilpres, tapi kemudian kita diundang tanggal 20 Agustus untuk mendengar putusan. Ternyata,  putusan yang kita dapatkan, melampaui apa yang kita minta. Kita mintanya, satu dikasih 10 oleh MK,” katanya.

Partai Gelora, Mahfuz, bersyukur sekaligus bingung terhadap putusan MK tersebut. Bersyukur bisa mencalonkan kepala daerah meski tidak punya kursi, sementara bingung karena MK membuat aturan baru di dalam UU Pilkada yang menjadi haknya DPR selaku pembuat Undang-undang (UU).

“Sehingga terjadilah turbulensi. Efek dari turbulensi ini, terjadinya perubahan peta Pilkada, dan perubahan itu masih terasa sampai sekarang. Ada orang yang pindah tempat duduk, dari di depan ke belakang atau sebaliknya, bahkan ada yang terhempas,” ungkapnya.

Akibat Putusan MK ini, menurut Mahfuz, membuat peta pencalonan kepala daerah menjadi sangat dinamis. Partai Gelora yang pada awalnya hanya mengeluarkan surat rekomendasi B1KWK, SK pencalonan kepala daerah dari 55 rekomendasi menjadi lebih dari 300-an rekomendasi.

Mahfuz berharap pasca putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah ini, perlu dilakukan harmonisasi paket Undang-undang Politik dan mengevaluasi sistem ketatanegaraan sekarang.

“Sebab MK telah mengambil wilayah DPR selaku pembuat undang-undang, belum lagi soal sengketa Pilkada dan Pilpres sampai mengurusi hal teknis. Bahkan MK juga tidak konsisten dengan putusannya soal ambang batas pencalonan, di Pilpres kita ditolak dikatakan legal policy-nya DPR, tapi di Pilkada justru diterima dan membuat norma baru yang menjadi haknya DPR,” katanya.

Sekjen Partai Gelora ini menilai, MK justru semakin menciptakan demokrasi menjadi lebih substatif dan prosedural, membuat prilaku pemilih menjadi pragmatis dan permisif, biaya politik makin tinggi dan menyuburkan praktik korupsi. Sehingga bisa merusak, budaya politik dan demokrasi itu sendiri.

“Kita harus evaluasi perjalanan selama 25 tahun ini. Kita harus dudukan lembaga yang ada pada tupoksinya, tidak seperti sekarang carut-marut sampai ada lembaga membajak kewenangan lembaga lain. Semua regulasi harus kita harmonisasi dan konsolidasi,” tegasnya.***

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini