Beranda Berita Terkini Ketua Bawaslu RI Bicara Potensi Hoaks dan Ujaran Kebencian dalam Kampanye Pilkada...

Ketua Bawaslu RI Bicara Potensi Hoaks dan Ujaran Kebencian dalam Kampanye Pilkada 2024

Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja/foto: dok Bawasslu RI

FTNews, Jakarta— Ketua Bawaslu Rahmat Bagja berharap program Social Media 4 Peace yang digagas UNESCO dapat ditingkatkan dengan menyasar hingga tingkat provinsi. Terlebih, tak lama lagi gelaran Pemilihan Kepala Daerah 2024 memasuki masa kampanye yang kerap dibumbui dengan ujaran kebencian, hoaks, serta misinformasi.

“Untuk meningkatkan literasi kepemiluan, saya kira harus kampanye keliling ke provinsi-provinsi yang ada indikasi potensi kerawanan dalam penyerangan atau kampanye hitam, dan hoaks dalam Pilkada 2024. Jangka panjangnya semoga di 2029 tidak ada lagi (ujaran kebencian dan hoaks) tapi harus ada usaha bersama dari seluruh stakeholder termasuk UNESCO,” papar Bagja dalam wawancara penelitian evaluasi Sosial Media 4 Peace melalui virtual, dilansir laman Bawaslu RI.

Dia menegaskan memerangi ujaran kebencian dan hoaks harus dilakukan oleh seluruh pihak baik pemerintah, penyelenggara Pemilu, organisasi kemasyarakatan hingga akademisi. Seluruh pihak harus bersama-sama memperbaiki literasi kepemiluan serta menyuarakan kampanye pemilihan di sosial media tidak boleh didasarkan politisasi SARA dan hoaks.

“Ini tidak bisa dilakukan secara terpisah atau terputus. Harus dilakukan keberlanjutan, harus ada road mapnya untuk menyamakan perspektif,” cetus alumnus Uttrecht University itu.

Bagja juga menilai proyek Social Media 4 Peace mampu membuka paradigma para stakeholder kepemiluan termasuk penyelenggara Pemilu untuk bisa menjalin komunikasi lebih intensif dengan platform sosial media di Indonesia.

Upaya ini menurut dia, sangat penting dalam rangka menyamakan perspektif dalam memahami kampanye yang sehat, kampanye yang tidak dipenuhi oleh fitnah, hoaks, dan kampanye hitam serta kesamaan perspektif peserta Pemilu terhadap imbas dari kampanye negatif dan missinformasi.

“Kalau kemudian terjalin kerja sama yang baik antara penyelenggara Pemilu, NGO, akademisi dalam menghadapi masalah Pemilu tentu kita dapat mengurangi dampak negatif penyelenggaraan Pemilu.”

“Apa dampak negatifnya? Pemilihan yang tidak didasari oleh track record, prestasi kerja, kinerja tetapi didasari oleh sentimen negatif. Kalau ini dilanjutkan kita berharap akan ada kemudian kesadaran bersama bahwa kampanye itu harus dengan melihat program kerja, riwayat kandidat, serta tidak menyerang berdasarkan suku, agama, dan RAS,” papar dia.

Dia menekankan kesamaan perspektif dalam memerangi ujaran kebencian dan hoaks dalam Pemilu/Pilkada sangat penting dilakukan oleh pemerintah, penyelenggara Pemilu, organisasi masyarakat, akademisi serta insan pers. Selain itu, kemauan platform sosial media untuk mau bekerja sama juga tak kalah penting.

“Platform sosial media harus mau berkolaborasi dengan hukum atau pespektif Indonesia, bukan dengan perspektif Amerika atau negara lain meski tetap ada tema-tema atau isu yang sama. Yang penting dilakukan ialah berinteraksi dahulu untuk menyamakan persepsi ini, mana yang bisa dicapai, tidak bisa dicapai,” kata dia.

Lebih lanjut Bagja mengatakan masyarakat juga harus mulai sadar untuk meningkatkan literasi digital kepemiluan. Cara yang bisa dilakukan menurutnya dengan melihat informasi dari pihak yang memiliki otoritas, kemudian bisa melakukan cek fakta.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini