FTNews, Jakarta— Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemiu). Permohonan diajukan oleh Didi Apriadi, anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dilansir mkri, dalam permohonan perkara dengan Nomor 45/PUU-XXII/2024, Pemohon mempersoalkan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.”
Dalam sidang dengan agenda perbaikan permohonan, M. Malik Ibrohim menyampaikan telah memperbaiki permohonan sesuai arahan Majelis Hakim Konstitusi pada sidang pendahuluan.
“Yang pertama, dari sistematika untuk perihal telah kami sesuaikan dengan penambahan kalimat sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116 dan seterusnya.”
“Yang kedua, untuk substansi langsung di kedudukan hukum di sub-bab kedudukan hukum itu kami memperkuat legal standing dengan penambahan di poin 4, 6, 10 sampai 13, Yang Mulia,” jelasnya di hadapan sidang panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Pemohon juga memperbaiki bagian posita. Malik mengatakan, terdapat penambahan dalil pada angka 1, 2, 4 dan 5 serta penambahan pada poin 8 dan pada dalil di poin 48 sampai 52.
Sebagai informasi, Permohonan perkara Nomor 45/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Didi Apriadi, anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pemohon mempersoalkan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, M. Malik Ibrohim dalam persidangan dalam persidangan pendahuluan di MK, Rabu (03/07/2024) menjelaskan bahwa partai Pemohon (PPP) meraih 5.878.777 suara sah secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR RI 2024 atau setara dengan 3,87%.
Akibat berlakunya norma pasal yang mengatur batas perolehan suara (parliamentary threshold) paling sedikit 4% tersebut, jutaan suara yang telah dipercayakan kepada PPP menjadi sia-sia.
Menyadari banyaknya perkara yang telah menguji norma yang sama, Pemohon pun menegaskan bahwa apa yang dipersoalkannya tidak ne bis in idem.
“Pemohon berkeyakinan bahwa selama norma a quo tetap diberlakukan, maka akan terus terjadi disproporsionalitas atau ketidaksetaraan antara suara pemilih dan jumlah partai politik di DPR. Lebih jauh lagi, Pemohon berpandangan bahwa tanpa adanya konversi suara pemilih menjadi kursi DPR, telah nyata norma a quo bertentangan dengan kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, Pemohon berkesimpulan bahwa parliamentary threshold berdasarkan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon dan partai Pemohon. Sehingga, pada petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak Pemilu DPR 2024.***