FTNews, Jakarta— Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menegaskan, hukum dan etika tidak dapat dipisah. Hukum diibaratkan sebagai jasad sementara etika adalah ruhny. Tidak mungkin hukum akan tegak jika etika tidak berfungsi dengan baik.
Namun demikian ada suatu kasus pelanggaran hukum namun tidak melanggar etika, begitu juga sebaliknya, sehingga tidak boleh kaku dalam menegakkan hukum dan etika
Hal itu disampaikan Jimly dalam webinar konstitusi dengan tema “Peradilan Etik dan Etika Konstitusi” yang digelar Fakultas Hukum Universitas Andalas, baru-baru ini.
Dalam kesempatan itu Jimly memaparkan adanya perbedaan pandangan antara para ahli terkait etika. Dari kalangan teolog misalnya, memiliki pandangan berbeda. Sementara dalam kehidupan bernegara adalah etika terapan atau applied ethic, karena adanya perbedaan itu dirinya menulis “Peradilan Etika dan Etika Konstitusi”.
Dilansir mkri, Jimly mengatakan, etika harus didukung dengan infrastruktur institusi penegakannya sehingga dapat dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dari semua institusi negara. “Selama ini penegakan etika berjalan sendiri-sendiri,” ucap Jimly.
Konstitusi Norma Tertinggi
Konstitusi, paparnya, selama ini hanya dipahami sebagai hukum tertinggi. Padahal konstitusi adalah kesepakatan tertinggi dalam berbangsa yang dituangkan dalam rule of the law, sehingga konstitusi bukan hanya hukum tertinggi melainkan norma tertinggi.
Jimly mencontohkan pengaturan etika dalam konstitusi seperti sumpah jabatan dan pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden jika melakukan perbuatan tercela.
Bahkan jika ditelusuri kembali sejarah mengenai nomokrasi, Plato mengidealkan sistem nilai kekuasaan sesuai aturan, bukan demokrasi. Berikutnya, lanjut Jimly, dalam perkembangan jaman nomokrasi mengalami penyempitan makna, terutama setelah terjadi sekularisme terpisahnya politik dengan agama, terpisahnya gereja dengan negara. Sejak itu, ujar Jimly, legal norm dan ethic norm semakin terpisah.
“Timbul masalah sesudah abad ke 20 ini apakah harus kita mempersempit makna konstitusi hanya sebagai hukum tertinggi, terbukti ini tidak mencukupi lagi. Nah, itu sebabnya mulai akhir abad 19 dan awal abad 20, di mana-mana muncul kesadaran mengenai pentingnya etika yang harus dituliskan dalam bentuk code of ethics, code of conduct,” papar Jimly.
Menurut Jimly, hal itu berkaca pada perkembangan hukum yang sebelumnya tidak tertulis dan hanya berdasar putusan hakim sehingga muncul istilah judge made law. Sama seperti hukum yang mengalami positivisasi, etika pun juga mengalami positivisasi dalam bentuk tertulis.
Dalam acara yang dimoderatori Beni Kurnia Illahi itu, Jimly mengatakan untuk efektivitas penegakan etika, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menganjurkan pembentukan infrastruktur penegakan etika di masing-masing negara bagi pelaksana pelayanan publik. Hal ini memunculkan institusi penegak etika, sebelumnya etika merupakan ranah privat.
Jimly menegaskan Pancasila merupakan supreme source of the law dan juga sebagai supreme source of ethic. Sehingga MK bukan hanya mahkamah Undang-Undang Dasar, melainkan juga MK yang terdiri atas norma hukum dan etika, Undang-Undang Dasar, dan Pancasila.
Terhadap pertanyaan sejumlah peserta yang hadir secara daring, Jimly mengungkapkan dirinya telah bertemu dengan Ketua MK Suhartoyo untuk mengadakan pertemuan antarlembaga dan tokoh publik terkait dengan peradilan etika.***