Gaduh Format Debat, Mungkinkah Ini Pertanda KPU ‘Masuk Angin’
FTNews, Jakarta — Setidaknya, selama satu minggu terakhir ini masyarakat Indonesia terhentak dua kegaduhan yang terjadi di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kegaduhan itu yaitu bocornya data pemilih dan format debat capres-cawapres.
Jadi, wajar-wajar saja kalau ada sebagian pihak yang justeru mempertanyakan ada apa dengan lembaga penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) tersebut. Bahkan, berkembang adanya sejumlah sinyalemen yang menyebut jangan-jangan KPU ‘Masuk Angin’?
Entah angin yang mana dimaksud sebagian pihak tersebut. Yang jelas, mereka tak ingin kasus atau tragedi memalukan di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terjadi di institusi penyelenggara pemilu tersebut.
Kalau itu terjadi sangat disayangkan. Kemana lagi kepercayaan masyarakat ditujukan. Sementara saat ini masa-masa proses pelaksanaan pemilu, terlebih lagi Pilpres yang akan menentukan pimpinan negara dan bangsa ini. Kalau harus dirusak dengan tindakan yang melanggar undang-undang, jelas sangat berbahaya.
Tentu saja, dua kejadian yang terjadi di KPU yaitu bocornya data pemilih dan format debat capres-cawapres menjadi cacatan buruk demokrasi di Indonesia. Kebocoran data pemilu, bahkan diklaim hacker Bjorka ke forum online Breached Forums seharga US$5.000 atau setara Rp77 juta (US$1=Rp15.510).
Tidak hanya itu, Bjorka bahkan mengeklaim memiliki data penduduk Indonesia dengan detail Nomor Induk Kependudukan (NIK), Kartu Keluarga, nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, umur, dan lain-lain.
Sementara Peretas bernama Jimbo mencuri 204 juta data DTP dari KPU RI. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari kejadian pada 2022. Jumlah tersebut juga sama dengan jumlah pemilih DTP tetap KPU.
Menurut data yang diunggah di Breach Forum, Jimbo berhasil mendapatkan informasi mengenai Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Kartu Keluarga (No. KK), Nomor KTP dan Passport, nama lengkap, jenis kelamin, tanggal lahir, tempat lahir, status pernikahan, alamat lengkap, serta kodefikasi TPS.
Belum jelas kapan kasus dicurinya data pemilih dan penduduk Indonesia ini. Karena sampai saat ini belum ada jaminan dari KPU terkait dengan bocornya data pemilih Indonesia. Ditambah lagi kegaduhan baru soal format debat capres-cawapres yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Perubahan format
Sesi debat di Pilpres 2024 akan berbeda dengan Pilpres 2019. Sesi untuk cawapres akan dihadiri capres masing-masing, sebelumnya tidak.
Perubahan format debat capres-cawapres oleh KPU tersebut mendapat tanggapan beragam dari TPN Ganjar-Mahfud, capres Anies Baswedan dan TKN Prabowo-Gibran sendiri.
Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud Md, Todung Mulya Lubis, mempertanyakan konsistensi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari dalam menjalankan perintah undang-undang terkait debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) peserta pilpres 2024.
Todung menilai KPU RI seharusnya berpegang pada peraturan yang telah ditetapkan, yaitu pelaksanaan debat peserta pilpres 2024 akan digelar sebanyak lima kali, yang terdiri atas tiga kali debat capres dan dua kali debat cawapres.
Todung yang juga pengacara kondang itu menilai pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang mengatakan debat capres akan dilakukan dengan menghadiri capres dan cawapres dalam 5 kali acara debat, bukan saja menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam pasal 277 UU No 7/2017 tentang Pemilu junto Pasal 50 PerKPU Nomor 15/2023.
“Namun akan menghilangkan kesempatan publik untuk menilai secara utuh kualitas cawapres, yang akan menjadi orang nomor 2 di republik ini,” kata Todung seperti dikutip FTNews, di Jakarta, Sabtu (2/12/2023).
Tentunya dalam debat capres-cawapres, publik perlu mengetahui secara pasti kualitas, kecerdasan, dan komitmen para cawapres yang akan menjadi pemimpin negara ini. Oleh sebab itu, debat antar-cawapres itu perlu dan wajib dilakukan.
Dalam UU Pemilu memang tak menjelaskan pemisahan debat capres-cawapres, selain mengatakan debat akan dilakukan sebanyak 5 kali. Namun merujuk pada penjelasan pasal 277 UU Pemilu menegaskan bahwa debat itu terdiri atas 3 kali debat capres dan 2 kali debat cawapres.
Balik ke format awal
Todung mengaku sepakat bahwa paslon capres dan cawapres adalah dwi tunggal yang tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Tetapi rakyat tetap berhak mengetahui kualitas, pengetahuan, komitmen, dan kesiapan cawapresnya.
Sebab, bukan mustahil dalam keadaan di mana presiden tak bisa menjalankan fungsinya, wakil presiden yang akan mengambil alih tugas dan fungsi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
Dalam kondisi tersebut, realitasnya wapres bukan semata-mata ban serep. Wakil presiden adalah pemimpin. Apalagi di era keterbukaan dan demokrasi sekarang ini, sudah tidak pantas jika wapres hanya dijadikan ban serep.
Karena itu, sangat disayangkan jika KPU memutuskan debat antar cawapres ditiadakan. Bahkan, bisa jadi Wapres lebih pintar, lebih menguasai permasalahan negara dibandingkan presidennya.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Dr. Emrus Sihombing mensinyalir ada kandidat wapres dari tiga paslon yang menjadi peserta Pilpres 2024 yang diakuinya lebih pintar atau mumpuni dari capresnya.
Karena itu, alangkah geramnya doktor komunikasi politik jebolan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu terhadap kebijakan KPU yang akan menghilangkan acara debat antarcawapres peserta Pilpres 2024 ini.
“Perubahan format tersebut, patut diduga KPU sedang merendahkan kemampuan dari enam kandidat dari tiga Paslon. Karena itu, saya minta KPU segera merubah format tersebut menjadi format sesuai undang-undang, agar rakyat tidak memilih kucing dalam karung,” tegas Emrus.
KPU sebagai lembaga negara seharsunya tunduk kepada undang-undang yang ada. Jangan sebaliknya melakukan kebijakan yang dinilai melenceng dari undang-undang.
Kegaduhan di KPU dinilai Emrus jangan sampai masyarakat berpikir KPU cawe-cawe. “Kalau nanti terbukti ikut cawe-cawe karena ada perintah dari luar itu akan terjadi kasus di Mahkamah Konstitusi (MK),” tegas Emrus.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, perubahan format pada proses pilpres kali ini menimbulkan pertanyaan. Sebab, pada pemilu lima tahun sebelumnya ada jadwal debat untuk para cawapres, seperti dalam keterangannya, Minggu (3/12/2023).
Independensi KPU
Syarwi mempertanyakan independensi KPU dalam menyelenggarakan pesta demokrasi 5 tahunan. Sebab, kebijakan yang diambil KPU menunjukkan lembaga tersebut seperti tersandera oleh konflik kepentingan.
“Pertanyaannya apakah KPU ini membebek kepada kekuasaan. Atau KPU ini konflik kepentingannya terlalu kuat dengan kekuasaan. Oleh karena itu KPU juga jangan kemudian tidak fair, tidak equal, dan seolah-olah diskriminatif,” katanya.
Kesan KPU melindungi salah satu cawapres cukup kuat dirasakan masyarakat. Kesan tak elok itu tidak akan dapat dihapuskan dengan berbagai alasan yang dikemukakan KPU untuk membernarkan keputusan tersebut.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Hasyim Asy’ari membantah pihaknya menghilangkan format debat antar calon wakil presiden (cawapres) di pemilu 2024. Menurut dia, kabar terkait KPU menghilangkan debat cawapres adalah ngawur.
Hasyim meluruskan informasi yang berkembang. Dia memastikan, bahwa debat pilpres 2024 tetap ada dengan format yang sudah ditentukan. “Tetap ada debat cawapres, Undang-Undang Pemilu menentukan ada 5 kalau debat, 3 kalau debat calon presiden dan dua kali debat calon wakil presiden,” jelas Hasyim.
Sebagai informasi, bantahan Hasyim disampaikan usai adanya pemberitaan soal perubahan format debat di pilpres 2024. Pada berita itu disebut, KPU tidak memberikan putaran debat khusus yang hanya dihadiri capres atau cawapres saja seperti pilpres 2019.
Hasyim menjelaskan, lima putaran debat pada dasarnya terdiri atas tiga kali debat antarcapres dan dua kali antarcawapres. Kendati begitu, dalam lima kali debat itu, pasangan capres-cawapres selalu hadir bersamaan. Hanya porsi berbicaranya yang dibedakan.
Apa yang diungkapkan pihak TPN Ganjar-Mahfud, para pengamat dan Ketua KPU Hasyim Asy’ari setidaknya sudah memberikan pencerahan kepada publik duduk persoalan yang tampak secara kasat mata.
Namun bagaimana dengan sinyalemen atau persoalan yang tidak tampak nyata, yang terjadi dibalik layar sebagaimana diungkapkan sebagian tim paslon capres-cawapres dan pengamat yang sudah menjadi informasi di ruang publik?
Yang jelas, mamsyarakat kita sudah melek demokrasi, sudah melek politik sehingga tatkala terjadi sesuatu yang dianggap tidak patut, pasti jauh mereka menduga ada sesuatu.
Ada satu kekuatan yang ikut cawe-cawe kepada KPU. Kalau boleh meminjam terminologi kesehatan. KPU sudah dianggap ‘masuk angin’ karena berencana merubah format debat yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Pertanyaannya, kalau benar KPU tidak ‘masuk angin’ Lalu siapa yang memiliki ‘pikiran iseng’ kalau tidak ingin disebut rusak moralnya? Tentu kembali lagi, bukan sekadar dilihat kacamata hukum atau perundang-undangan.
Sementara ada masalah etik dan moral tidak kalah pentingnya untuk dijadikan pijakan atau sandaran berpijak para pengambil kebijakan sebelum memutuskan suatu kebijakan yang akhirnya menjadi konsumsi publik.
Artinya, sebuah kebijakan jangan hanya dilihat dari hitam putih atau peraturan perundang-undangan semata. Namun harus dilihat dari sisi etika moral dan kepatutan. Masalah etika dan moral ini menjadi kunci penting pada setiap keputusan kebijakan publik sehingga tidak ada pihak yang marasa dirugikan.*
Warning: Undefined variable $args in /www/wwwroot/pemilunesia.com/wp-content/themes/umparanwp/widget/widget-related.php on line 47
