Beranda Berita Terkini Calon Tunggal harus Menang Lebih dari 50%, jika Kalah Pemerintah Tugaskan Pj...

Calon Tunggal harus Menang Lebih dari 50%, jika Kalah Pemerintah Tugaskan Pj Kepala Daerah

Foto: dok Ig @tanggraini

FTNews, Jakarta— Menjadi calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah tidak selalu mudah. Aturannya menjadi lebih ketat. Misalnya, untuk dinyatakan sebagai pemenang, calon Tunggal harus mendapat suara lebih dari 50 persen.

Hal ini diatur dalam Pasal 54 D Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota (UU Pilkada).

Hal itu dijelaskan pakar kepemiluan, Titi Anggraini diskusi daring yang diselenggarakan The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Minggu (1/9/2024). Nara sumber lainnya adalah Feri Amsari, pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.

Bukan itu saja, undang-undang juga mengatur jika calon Tunggal tersebut kalah di Pilkada atau gagal meraih 50 persen lebih. “Jika kalah, maka Pilkada diulang di tahun berikutnya,” ucap Titi. Hal ini sesuai dengan Pasal 54 D ayat 3, yakni, diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.

“Kenapa kemudian ada kata-kata jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan? Ini tidak lepas dari praktik bahwa sebelumnya kita melakukan penataan jadwal Pilkada sebelum menuju Pilkada serentak nasional,” jelasnya.

Sementara berdasarkan data, ada 43 daerah yang mendaftar hanya 1 paslon/ tunggal. Jumlah  ini lebih banyak dibadingkan Pilkada 2020. Pada daerah Paslon Tunggal itu KPU melakuka perpanjangan pendaftaran, 2 – 4 September.

Di bagian lain Titi juga menyatakan, Pilkada berlangsung setiap lima tahun sekali. Pada Pasal 54 D ayat 4 UU Pilkada menegaskan bahwa jika belum ada pasangan calon terpilih, Pemerintah menugaskan penjabat untuk memimpin daerah tersebut.

Menurut dia, tidak masuk akal jika pemilihan ulang baru dilaksanakan 5 tahun setelahnya sehingga masyarakat dibiarkan dipimpin oleh penjabat yang bukan kepala daerah definitif hingga 2029.

“Kenapa? Pemerintah saja ingin menyegerakan pelantikan hasil Pilkada 2024 karena ingin mendapatkan kepala daerah secara definitif supaya agenda pembangunan daerah bisa berjalan dengan baik,” imbuhnya.

Penataan jadwal pilkada serentak, kata Titi, telah tuntas seiring dengan akan dihelatnya pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024. Selanjutnya, pilkada akan berlangsung setiap 5 tahun sekali secara reguler.

Sementara itu, Pasal 54 D ayat (4) UU Pilkada menegaskan bahwa jika belum ada pasangan calon terpilih, Pemerintah menugaskan penjabat untuk memimpin daerah tersebut.

Oleh karena itu, dalam batas penalaran yang wajar, kata Titi, apabila calon tunggal kalah dalam Pilkada 2024, maka pemilihan diulang pada tahun berikutnya adalah 2025.

“Tidak masuk akal jika pemilihan ulang baru dilaksanakan 5 tahun setelahnya sehingga masyarakat dibiarkan dipimpin oleh penjabat yang bukan kepala daerah definitif hingga 2029”

“Kenapa? Pemerintah saja ingin menyegerakan pelantikan hasil Pilkada 2024 karena ingin mendapatkan kepala daerah secara definitif supaya agenda pembangunan daerah bisa berjalan dengan baik,” tegas Titi.

Selain itu, menurut Titi, jika dilihat dari sisi konstruksi norma, frasa yang diutamakan dalam Pasal 54 D ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 tersebut adalah “diulang kembali pada tahun berikutnya“.

“Jadi, dalam konteks ini, semestinya yang diutamakan adalah menyegerakan pemilihan ulang supaya ada kepemimpinan daerah definitif,” ujarnya.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini