Beranda Berita Terkini Ahli Prabowo-Gibran: Jangan Paksa Mahkamah Langgar Asas Yuridikitas

Ahli Prabowo-Gibran: Jangan Paksa Mahkamah Langgar Asas Yuridikitas

Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum di sidang PHPU Presiden 2024, Kamis (4/4/2024)/foto: tangkap layar, diana

FTNews, Jakarta— Ahli Hukum Pidana dan Hukum Pembuktian Edward Omar Sharief Hiariej yang kerap disapa Eddy mengatakan, kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya sebatas terhadap hasil penghitungan suara sebagaimana Pasal 24C Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut dia, dalil-dalil permohonan yang diajukan Pemohon baik Perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 maupun Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024  bukan menjadi kewenangan MK.

Hal itu disampaikan Edward Omar Sharief Hiariej Edward dalam sidang PHPU Presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi, Kamis (4/4/2024).

“Artinya, kalau Mahkamah Konstitusi ini diminta untuk mengadili sesuatu yang di luar kewenangannya sesungguhnya kuasa hukum Paslon 01 dan kuasa hukum Paslon 03 memaksa Mahkamah melanggar apa yang kita sebut yuridikitas rechtmatingheid atau asas yuridikitas yang berarti bahwa Mahkamah atau pengadilan tidak boleh memutus sesuatu yang berada di luar kewenangannya,” ujar Eddy, dilansir laman MK.

Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut juga menyatakan, masalah keabsahan pencalonan Paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ialah persoalan sengketa proses dan bukan kewenangan MK untuk menyelesaikannya.

Seharusnya, ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan keputusan terkait pasangan calon Prabowo-Gibran, maka pasangan calon lainnya yang keberatan atas keabsahan pencalonan tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pencalonan Gibran pun tidak dipersoalkan pada saat debat yang diselenggarakan secara resmi oleh KPU. Menurut dia, ada pengakuan terhadap pencalonan Gibran secara diam-diam. Dengan demikian, menurut dia, dalil Pemohon yang mempermasalahkan pencalonan Gibran sudah tidak dapat dipersoalkan lagi.

Selain itu, Eddy juga menyinggung dalil Paslon 03 yang meminta beban pembuktian diwajibkan juga kepada Termohon atau KPU maupun Pihak Terkait. Paslon 03 akan membuktikan dalilnya atas adanya nepotisme, tetapi kemudian beban pembuktian berpindah kepada Termohon atau Pihak Terkait untuk membuktikan tidak adanya nepotisme.

Namun, kata Edward, hal ini bertentangan dengan prinsip fundamental dalam pembuktian, karena beban pembuktian ada pada orang yang menggugat bukan yang tergugat, pembuktian bersifat wajib bagi yang mengiyakan bukan yang menyangkal, dan jika tergugat tidak mengakui gugatan maka penggugat harus membuktikan.

“Dengan demikian, dalil yang berkaitan dengan beban pembuktian haruslah dikesampingkan karena merusak asas-asas dalam teori hukum dan sendi-sendi dasar dalam hukum pembuktian,” tutur Edward.

Berikutnya, Edward juga menjawab dalil nepotisme yang dikaitkan dengan pelanggaran pemilu terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dan meminta MK melakukan penemuan hukum agar nepotisme menjadi bagian dari TSM.

Menurutnya, memasukkan nepotisme sebagai bagian TSM berarti mengonstatir nepotisme sebagai kejahatan. Jika dipaksakan, kata dia, majelis hakim harus memperhatikan prinsip-prinsip yang membatasi hakim melakukan penemuan hukum dan penemuan hukum dalam hukum pidana tidak boleh merugikan terlapor, terperiksa, tersangka, tertuduh, atau terdakwa atas kekosongan hukum tersebut.

“Di satu sisi majelis hakim MK diminta mengadili nepotisme sebagai bagian TSM padahal diakuinya terdapat kekosongan hukum, artinya majelis hukum diminta melanggar asas legalitas,” ucap Edward.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini