Hendra Karianga: “Saya Ingin Mengabdi untuk Rakyat Maluku Utara”

ftnews.co.id, Jakarta-Hendra Karianga punya cita-cita mulia. Ia ingin mengabdikan diri untuk tanah kelahirannya, Maluku Utara. Jalan itu  kini sudah terbuka lebar.  Pria kelahiran Ngajam, Loloda, Halmahera Utara, Maluku Utara ini, dicalonkan menjadi anggota legislatif  DPR  RI dari Partai Persatuan Indonesia (Perindo) untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Maluku Utara (Malut), pada Pemilu Legislatif 2024 mendatang.

Bagi Hendra, pencalonan dirinya sebagai  wakil rakyat dari partai besutan Hary Tanoesoedibjo ini semata untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Maluku Utara.“Saya ingin mengabdikan diri untuk rakyat Maluku Utara,” ujarnya ketika ditemui ftnews.co.id.


Hendra melihat, Maluku Utara memiliki  potensi sumber daya alam yang berlimpah. Mulai dari tambang, perkebunan hingga perikanan.  Di sektor pertambangan misalnya, Maluku utara  merupakan daerah penyumbang ekspor industri tambang  terbesar di Indonesia. 


Namun ironisnya, masyarakat di sekitar wilayah tambang masih jauh dari sejahtera. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara mencatat, tingkat kemiskinan di kabupaten Halmahera Tengah tahun 2022 tercatat 12,00 persen. Sedangkan di  Kabupaten Halmahera Timur tercatat tingkat kemiskinan sebesar 13,14 persen. Padahal dua kabupaten tersebut merupakan daerah penghasil tambang terbesar di Maluku Utara. 


Ketidakadilan Hasil Tambang


Menurut Hendra, salah satu penyebab masih besarnya angka kemiskinan di Maluku Utara,  terutama di daerah penghasil tambang, karena  Dana Bagi Hasil (DBH)  dari eksploitasi tambang yang tidak seimbang. “Ada ketidakadilan pembagian hasil tambang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Semua hasil tambang masuk ke pusat dan daerah tak kebagian, ” katanya.


Sebenarnya, menurut Hendra, ketidakadilan bagi hasil dari sektor pertambangan ini  lantaran adanya aturan yang hukum yang tidak berpihak pada pemerintah daerah. Hendra menjelaskan, terkait Dana Bagi Hasil diatur dalam pasal 129 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).  


Disana disebutkan, bahwa hasil produksi bersih pertambangan itu dibagi. Prosentase Nya, swasta 90 persen, dan pemerintah 10 persen. Dari 10 persen  tersebut pemerintah pusat mengambil 4 persen dan  6 persen untuk pemerintah daerah. Pembagian 6 persen untuk pemerintah daerah ini masih dibagi lagi  untuk pemerintah provinsi sebesar 1,5 persen, kabupaten penghasil 2,5 persen untuk  kabupaten terdekat 2 persen. 


Menurut Hendra, dana bagi hasil ini sangat kecil bagi daerah, jika  dibandingkan dengan kerusakan lingkungan yang harus ditanggung akibat dari eksploitasi tambang. Dana bagi hasil yang diterima  oleh kabupaten setiap tahunnya   tidak bisa mencukupi untuk membiayai program pemerintah daerah. “Seharuna dana bagi hasil itu bisa untuk membiayai pembangunan di daerah,” katanya. 


Karena itu, menurut Hendra, pasal 29 UU Nomor 3 tahun 2020 ini harus dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Bleid tersebut dinilai  Hendra, bertentangan dengan Pasal  33 UUD 45 yang menyebutkan, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. “Dana perimbangan bagi hasil jauh dari pada tujuan negara,” katanya.


Lantaran adanya ketimpangan dana bagi hasil industri tambang itulah, sektor tambang hingga kini belum bisa untuk mensejahterakan masyarakat Maluku Utara. Setidaknya, menurut hitungan Hendra, paling tidak, pemerintah daerah seharusnya mendapat dana bagi hasil sebesar 20 persen. “Tambang itu milik rakyat,  negara hanya mengelolanya untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Hendra bersemangat.*

 


Warning: Undefined variable $args in /www/wwwroot/pemilunesia.com/wp-content/themes/umparanwp/widget/widget-related.php on line 47
Tutup