Bivitri: MK tidak Boleh Ambil Alih Kewenangan Lembaga Demokrasi

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti /foto: Ig Bivitri Susanti

FTNews — Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengatakan, Mahkamah Konstitusi tidak boleh mengambil alih kewenangan yang seharusnya menjadi hak lembaga-lembaga demokrasi.

Hal tersebut disampaikan Bivitri dalam Webinar Konstitusi bertajuk “Mahkamah Konstitusi Sebagai Katalisator Reformasi Hukum: Evaluasi dan Tantangan” , yang digelar atas kerja sama MK dengan  Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo (FH UNG).

“Jika dilihat dari fungsinya, kita harus mengembalikan peran masing-masing lembaga dalam pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” ujarnya, dikutip dari mkri

Menurutnya, yang menjadi perhatian adalah bagaimana memaksimalkan partisipasi publik, terutama dalam proses pembuatan undang-undang di DPR bersama Presiden, agar demokrasi kita bisa berkembang dengan baik dan ruang-ruang publik dimanfaatkan secara optimal.

“Walaupun kita menginginkan agar MK berfungsi lebih baik dan berperan maksimal, perdebatan yang terjadi sering kali tidak mengedepankan argumen populis, melainkan terbatas pada kalangan akademisi hukum, seperti kita yang hadir dalam forum ini atau ruangan ini. Sehingga partisipasi publik akan sangat terbatas,” lanjutnya.

Bivitri menjelaskan, publik baru bisa berpartisipasi secara langsung melalui penyampaian amicus curiae atau dengan menjadi pihak terkait. Namun, tidak semua orang memiliki kapasitas untuk melakukan hal tersebut.

Hal ini berbeda jika pengambilan keputusan mengenai isu-isu tertentu berada di tangan lembaga legislatif dan presiden, di mana keterlibatan publik dapat lebih luas dan inklusif.

“Menurut saya, MK harusnya lebih ketat dalam penggunaan yang namanya prinsip open legal policy itu menjadi titik tekan,” terang Bivitri.

Terkait dengan putusan mengenai batas usia, Bivitri menyatakan MK sebaiknya tidak membuat putusan tentang hal ini. Dalam putusan terkait calon kepala daerah yang mengacu pada Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menolak permohonan pemohon karena dalam undang-undang sudah jelas dinyatakan bahwa batas usia dihitung pada saat mendaftar, bukan saat dilantik.

“Menurut saya, itu adalah keputusan yang tepat, karena soal usia seharusnya ditentukan oleh pembuat undang-undang, bukan oleh MK. Biasanya, MK tidak memutuskan perkara terkait syarat pencalonan, termasuk soal usia,” tegasnya.

Bivitri juga menekankan pentingnya MK dan institusi lainnya mengadakan diskusi seperti ini. Kampus-kampus lain juga telah banyak menggelar diskusi serupa, dengan tujuan utama untuk mengungkap dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada.

Ke depan, ia berharap semakin banyak forum diskusi seperti ini yang dapat meluruskan persoalan secara mendalam, sehingga diskusi hukum tidak hanya didominasi oleh narasi politik, tetapi didasarkan pada kajian yang lebih substansial dan mendalam.

Sebagai informasi, Webinar Konstitusi 2024 digelar dalam rangka Peningkatan Budaya Sadar Berkonstitusi. Webinar Konstitusi ini dimulai pada Juli hingga Desember 2024. Webinar Konstitusi yang pertama diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pancasakti, Tegal, Jawa Tengah, dan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret menjadi penutup rangkaian kegiatan Webinar Konstitusi 2024.***

 

Tutup