Pemohon Coret Nama Kaesang dalam Posita Permohonan Uji UU Pilkada

Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra menyimak penjelasan pemohon Pengujian Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah mengenai sejumlah perbaikan yang telah dilakukan dalam permohonan/Foto: Humas MK

FTNews, Jakarta— Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan Perkara Nomor 99/PUU-XXII/2024 yang menguji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) yang diajukan seorang warga Surakarta, Aufaa Luqmana Rea. Dalam perbaikannya, Pemohon menghapus nama Kesang Pangarep dalam permohonannya.

“Kami akan mematuhi nasihat Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mencoret judul ‘Kaesang Dilarang Jadi Gubernur’ juga telah mencoret nama Kaesang dari materi-materi posita permohonan ini,” ujar kuasa hukum Pemohon, Dwi Nurdiansyah Santoso yang menghadiri sidang melalui video conference, dilansir mkri.

Dalam permohonan sebelumnya, terdapat kalimat “Kaesang Dilarang Jadi Gubernur” tepat di bawah perihal pada halaman pertama. Beberapa kali juga Pemohon menyebutkan nama Kaesang yang dinilai mendapatkan keuntungan atas ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada mengenai penafsiran batas usia minimal menjadi kepala daerah.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Senin (5/8/2024) lalu, Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyinggung judul permohonan Pemohon atau bagian di bawah perihal yang tertulis “Kaesang Dilarang Jadi Gubernur”. Hal itu disampaikannya dalam sesi pemberian nasihat hakim.

“Sebaiknya judul permohonan yang berbunyi Kaesang Dilarang Jadi Gubernur itu tidak perlu ada,” tutur Arsul saat memberikan nasihatnya.

Sementara, Arief mengatakan, permohonan harus memenuhi unsur kepatutan, kewajaran, dan kesopanan. Menurutnya, tulisan “Kaesang Dilarang Jadi Gubernur” yang bersifat provokatif dalam permohonan menjadi hal yang tidak lazim sehingga seharusnya tidak ada.

“Supaya dihapus ini provokatif, enggak boleh bikin permohonan begini, seolah-olah memprovokasikan orang Indonesia atau memprovokasi hakim supaya memutus seperti apa yang diinginkan ini, enggak benar ini, apalagi kita di Indoensia berhukum itu harus berkarakter Pancasila,” jelas Arief.

Sebagai informasi, Pemohon mengatakan, banyak penafsiran mengenai ketentuan syarat usia paling rendah untuk menjadi calon kepala daerah sehingga tidak ada kepastian hukum dalam pasal tersebut. Aufaa mengatakan, aturan yang tidak memberikan kepastian hukum dimanfaatkan beberapa orang untuk mendukung calon gubernur yang sebenarnya belum memenuhi persyaratan untuk maju dalam pilkada gubernur tahun 2024.

Sebelumnya, Pemohon menyebut Kaesang Pangarep yang lahir pada 25 Desember 1994 belum memenuhi syarat untuk diajukan sebagai calon gubernur maupun calon wakil gubernur. Kemudian, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka pendaftaran pasangan calon pada 27-29 Agustus 2024, maka Kaesang masih berusia 29 tahun sehingga belum memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e. Sebab, menurut Pemohon, kata “calon” dalam pasal tersebut menandakan aturan berlaku pada saat pendaftaran pasangan calon atau maksimal saat pelaksanaan pemungutan suara. Kalau diartikan berlaku pada saat pelantikan, maka kata yang dipakai dalam pasal tersebut seharusnya adalah pasangan calon terpilih.

Sementara, KPU melalui Peraturan KPU (PKPU) memaknai usia calon gubernur/calon wakil gubernur adalah pada saat pelantikan pasangan terpilih menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) yang menafsirkan kembali PKPU tersebut. Di sisi lain, selama ini jadwal pelantikan masing-masing kepala daerah pun berbeda atau tidak bersamaan karena berakhirnya masa jabatan kepala daerah berbeda.

“Terdapat kegamangan dan kebingungan KPU dalam menentukan usia pada saat pelantikan terbukti berbeda keterangan Ketua KPU Hasyim Asyari pada saat masih menjabat dan belum dicopot karena asusila,” kata Aufaa.

Dengan demikian, dalam petitumnya Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memaknai Pasal 7 ayat (2) huruf e mengenai usia paling rendah menjadi calon kepala daerah terhitung pada saat pelaksanaan pemungutan suara pasangan calon. Meskipun Pemohon mengaku memahami pasal tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan pembentuk undang-undang untuk menentukan aturan yang tidak diatur konstitusi.***

Tutup