Riset Pilkada 2024: Pemilih Lebih Melihat Figur Calon Kepala Daerah Dibanding Parpol
FTNews, Jakarta— Perhelatan Pilkada Serentak 2024 akan segara dimulai. Hiruk-pikuknya pun sudah ramai diperbincangkan di berbagai media. Pertanyaannya, apakah kandidat yang diusung oleh partai politik tertentu akan berpengaruh terhadap eksistensi partai politik di tataran lokal?
Dikutip dari hasil Riset dari The Strategic Research and Consulting (TSRC), munculnya fenomena politik kefiguran, menguatnya pragmatisme politik yang diiringi dengan rendahnya Party ID, tentu akan berpengaruh terhadap dinamika kekuatan politik partai politik di tingkat lokal.
Dalam Pilkada, demikian hasil riset tersebut, kemungkinan besar pemilih tidak lagi mengidentifikasi dirinya berdasarkan pilihannya terhadap partai politik pada Pemilu 2024, melainkan tergantung pada pengaruh figur atau sosok Calon Kepala Daerah yang bakal diusung oleh partai politik.
Pekerjaan rumah yang harus segera dibereskan oleh partai politik pascapemilu yang bakal bertarung kembali pada Pilkada adalah, menjadikan kontestasi ini sebagai momentum untuk memperkuat konsolidasi pemilih partai politik.
Institusionalisasi partai politik, papar hasil riset tersebut, sangat penting untuk segera dilakukan. Partai politik juga harus mampu mencegah dirinya berjalan ke arah deinstitusionalisasi atau kehilangan jati dirinya secara kelembagaan.
Sistem pengaderan perlu diperkuat agar partai politik tidak menggantungkan diri dari faktor luar atau eksternal, misalnya, mereka yang bukan kader partai politik tetapi bermodal besar.
Selain itu, terdapat faktor eksternal dan internal pemilih yang perlu diperhatikan oleh partai politik dalam Pilkada Serentak 2024 nanti, yakni sebagai berikut:
- Faktor Eksternal Pemilih
Faktor eksternal pemilih dapat diamati dalam dua kategori, yakni keputusan usungan partai politik dan gaya kampanye calon kandidat. Kategori pertama, partai politik harus memutuskan apakah akan mengusung kandidat yang sesuai dengan aspirasi pemilihnya atau tidak.
Jika partai politik tidak mengusung kandidat sesuai dengan aspirasi pemilihnya, maka partai politik tersebut rentan ditinggalkan oleh pemilihnya.
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi keputusan dalam pengusungan kandidat oleh partai politik meliputi efek kontaminasi, biaya partisipasi, ketersediaan kandidat, dan ketersediaan koalisi pascapemilu (Gary, 1999).
Para ahli berpendapat bahwa partai politik dapat meningkatkan perolehan suaranya melalui proses kandidasasi atau calon yang nantinya diusung. Kondisi inilah yang kemudian disebut sebagai efek kontaminasi dari keputusan pengusungan kandidat oleh partai politik.
Jika efek kontaminasinya besar, maka partai politik akan memiliki kekuatan politik yang cukup besar.
Kategori kedua, kandidat partai politik dapat memilih gaya kampanye yang berpusat pada kepribadiannya atau berpusat pada platform partai politik guna meraih suara elektoral sebanyak-banyaknya.
Jika kandidat melakukan kampanye secara pribadi, hal itu hanya akan meningkatkan pemilih kandidat dan tidak linier pada kekuatan partai politik. Namun sebaliknya, apabila kandidat melakukan kampanye berpusat pada kepribadiannya sekaligus pada partai politik, maka hal ini akan mendorong terjadinya liniearitas pilihan antara kandidat dan partai politik.
- Faktor Internal Pemilih
Selain faktor eksternal, partai politik juga harus memperhatikan aspek individu atau pemilih. Faktor-faktor yang memengaruhi soliditas pemilih adalah sebagai berikut:
- Faktor Size of The Menu
Faktor ini mengasumsikan bahwa adanya jarak ideologis antara partai politik dengan kandidat. Tindakan kandidat cenderung tidak memperlihatkan kekhasan partai politik.
Semakin miripnya ideologi partai-partai politik dalam persepsi pemilih, maka semakin besar pula kemungkinan pemilih untuk mengabaikan ideologi partai politik. Oleh sebab itu, partai politik perlu merumuskan kembali program dan branding yang berbeda dengan yang lain untuk memperoleh simpati pemilih.
- Identifikasi Pola dan Stabilitas Koalisi
Para pemilih akan memantapkan pilihannya apabila partai politik dan kandidat berhasil membentuk preferensi koalisi yang sesuai dengan aspirasi mereka.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa setiap tindakan membutuhkan koordinasi dan strategi yang tepat agar dapat bekerja sama sebagai satu kesatuan tim guna mewujudkan tujuan politik bersama. Tindakan hanya dapat diwujudkan dengan menghubungkan atau melibatkan banyak aktor, yang mana tujuan bersama tidak dapat dicapai apabila hanya satu aktor yang melaksanakannya.
Pada dasarnya, teori koordinasi Gary W. Cox didasarkan pada pengamatan Maurice Duverger tentang bagaimana sistem Pemilu maupun Pilkada memengaruhi struktur aturan Pemilu maupun Pilkada.
Dari hubungan tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana faktor tingkat pemilih dan kandidat dari partai politik saling terkait sehingga membentuk tindakan strategis. Akhirnya, hubungan tersebut akan berdampak pada apakah pemilih akan loyal terhadap partai politik atau justru sebaliknya, pemilih akan berpindah pilihan.***

