Beranda Berita Terkini Pakar Hukum: Pendaftaran Prabowo-Gibran Tetap Legal Meski DKPP Beri Sanksi Ketua KPU

Pakar Hukum: Pendaftaran Prabowo-Gibran Tetap Legal Meski DKPP Beri Sanksi Ketua KPU

Fahri Bachmid, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Foto: Ist

FTNews — Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi, Dr. Fahri Bachmid, SH,.MH menegaskan pendaftaran Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tetap legal kendati Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberi sanksi keras kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari.

Pakar hukum dan konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar itu mengatakan putusan perkara Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023 Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023 Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023 Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023, berlaku bagi Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Tidak berdampak pada eksistensi Prabowo-Gibran.

“Sanksi kepada Ketua KPU tidak mempunyai implikasi konstitusional dan hukum apapun terhadap pasangan capres dan cawapres Prabowo-Gibran, eksistensi sebagai ‘legal subject’ paslon adalah konstitusional serta ‘legitimate’,” ujar Fahri melalui keterangan tertulis, Senin (5/2/2024).

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum atau Ketua KPU Hasyim Asy’ari melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP).

Karena itu, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras dan yang terakhir kepada Hasyim. Sanksi DKPP tersebut terkait pelanggaran Hasyim terkait pendaftaran pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) pada 25 Oktober 2023.

Dua kontek berbeda

Fahri mengatakan, dalam membaca Putusan DKPP ini harus dilihat pada dua konteks yang berbeda.

“Konteks pertama yaitu status konstitusional KPU sebagai subjek hukum yang diwajibkan ‘legal obligation’ untuk melaksanakan perintah pengadilan yaitu Putusan MK Nomor 90/PUU- XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023 sebagaimana mestinya,” jelas Fahri.

Kedua, lanjut dia, dalam melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi ‘a quo’ tindakan Para Teradu (KPU) dianggap tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu, sehingga berkonsekwensi terjadi pelanggaran etik.

Menurut dia, DKPP dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah produk hukum yang mengikat bagi KPU selaku pemangku kepentingan.

“Hal ini didasarkan pada ketentuan norma Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditegaskan kembali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2012 yang dalam pertimbangan hukum pada halaman 75 dan 76,” urai Fahri.

Putusan tersebut menyatakan: ‘Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain, ‘Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final …’.

Fahri menjelaskan, putusan MK bersifat final dan mengikat umum ‘erga omnes’ yang langsung dilaksanakan ‘self executing’ putusan Mahkamah derajatnya sama seperti Undang-Undang yang harus dan wajib dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada…’.

Fahri menambahkan, DKPP mengutip pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagaimana terdapat pada halaman 56.

“Putusan yang menyatakan: ‘… Dengan demikian, oleh karena jabatan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota saat ini paradigmanya adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,” ujarnya.

Putusan a quo

Lebih lanjut, Fahri mengatakan, ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya…’.

Fahri mengatakan, berdasarkan ketentuan tersebut di atas, KPU selaku subjek hukum tata negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melaksanakan Putusan MK sebagaimana mestinya.

Sehingga, kata dia, dengan demikian dari aspek hukum tata negara tindakan KPU menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 adalah tindakan yang sudah sesuai dengan Konstitusi.

Dalam pertimbangan yuridis Putusan DKPP, Fahri engatakan,dalam melaksanakan Putusan MK, tindakan KPU selaku teradu tidak sejalan dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu.

“Artinya KPU seharusnya segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai tindaklanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” tegas Fahri.

Dia menilai sebenarnya pada hakikatnya itu yang dilakukan KPU ranah etik yang tentunya dapat dinilai secara etik sesuai Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini