Beranda Berita Terkini Tendensius Beginikah Etika Elite Politik Kita?

Tendensius Beginikah Etika Elite Politik Kita?

Tiga Capres masing-masing Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan dalam acara Debat Capres 2024, di Kantor KPU, Selasa (12/12/2023) malam. Foto: Tangkap Layar

FTNews, Jakarta — Debat calon presiden (capres) putaran perdana yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan hanya ‘menguji’ kemampuan para capres adu gagasan dan promosi program dan kebijakan yang akan dijalankan ketika ketiganya terpilih.

Namun setidaknya memberikan pengayaan kemampuan masing-masing capres nomur urut 1 Anies Baswedan, capres nomor urut 2 Prabowo Subianto dan capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo memaparkan pendalaman visi misi dan program kerja kepada publik.

Apalagi ketiga capres menjawab sejumlah pertanyaan dari 11 anggota tim panelis ahli dari praktisi dan akademisi yang sudah disiapkan KPU. Setidaknya, memberikan gambaran utuh kemampuan para capres yang berkontestasi di Pilpres 2024.

Begitu juga ketika memasuki sesi yang diantara para capres tersebut saling melontarkan pertanyaan dan memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan seputar Pemerintahan, Hukum, HAM, Pemberantasan Korupsi, Penguatan Demokrasi.

Ada yang menarik dan menjadi sorotan sejumlah pihak, baik pengamat maupun praktisi terkait pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para capres terhadap rival politiknya. Fenomena yang satu ini terkait dengan etika berpolitik elite politik kita.

Dari pertanyaan antarcapres itu ada pertanyaan yang dinilai sebagian pengamat politik maupun komunikasi politik dua capres terlalu tendensius yaitu capres nomor urut 1 Anies dan capres nomor urut 3 Ganjar terhadap capres nomor urut 2 Prabowo, yang tampak lebih dewasa dan tetap santun dengan menyebut Mas Anies dan Mas Ganjar kepada capres yang lebih muda.

Ketenangan Prabowo dalam debat capres tersebut bisa jadi karena Prabowo memiliki pengalaman setidaknya pernah menjadi capres dua kali dibanding capres Anies maupun Ganjar yang hanya memiliki pengalaman menjadi gubernur.

Dipecat dari Mendikbud

Anies pernah dipecat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayan era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla periode pertama, padahal baru menginjak sekitar dua tahun menjabat pada 27 Juli 2016.

Anies maupun Ganjar seakan sepakat ingin ‘menghabiskan’ Prabowo terkait isu pelanggaran HAM. Begitu lagi Anies soal isu demokrasi di tanah air. Tidak hanya itu, Anies terkesan terlalu menggurui dan tendensius, termasuk soal Prabowo menjadi oposisi dan ‘orang dalam’.

Ada pro-kontra diantara para pengamat sendiri terhadap fenomena yang terjadi dalam debat perdana capres, yang berlangsung pada Selasa (12/12/2023) di kantor KPU tersebut. Pastinya, perbedaan pandangan sehingga muncul pro-kontra, baik secara tersirat maupun tersurat.

Pakar politik dari Universitas Andalas Padang Asrinaldi mengatakan Calon Presiden RI Prabowo Subianto tidak layak mengungkit kemenangan Anies Baswedan pada Pilkada DKI Jakarta.

Prabowo sendiri sebenarnya tidak bertanya atau tidak ada maksud mengungkit kemenangan Anies itu sebuah utang budi kepada Partai Gerindra yang dikomandoi Prabowo Subianto. Prabowo kembali mengingatkan Anies kalau tidak demokrasi Jokowi, Mas Anies ngga bakal jadi Gubernur DKI Jakarta.

Berbeda tatkala Anies dan Ganjar mempertanyakan soal pelanggaran HAM, terkait kasus penculikan aktivis dan mahasiswa pada medio 1997-1998. Keduanya, mempertanyakan dimana 13 makam aktivis yang hilang.

Bawa korban di debat capres

Terlebih lagi Anies dan Ganjar yang membawa korban pelanggaran HAM yang dinilai sebagian pihak tidak etis membawa-bawa korban ke arena politik yang secara pribadi tidak ada sangkut pautnya dengan korban. Hal ini juga dianggap sebagian pengamat dimana etika politik elit politik kita?

Begitu juga pernyataan Anies, yang juga mantan Rektor Universitas Paramadina Jakarta itu yang menyebut Prabowo tidak tahan menjadi oposisi pemerintah karena tidak bisa berbisnis. Pernyataan ini juga dianggap tidak etis karena menyerang pribadi capres.

Wajar jika Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mempertanyakan pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta itu memperoleh dari mana. Muzani menyebutkan pernyataan capres nomor urut 1 itu tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Saya ini paling dekat dengan Pak Prabowo. Pak Prabowo nggak pernah pidato seperti itu. Pak Prabowo nggak pernah ngomong seperti itu,” kata Muzani di Markas Tim Kampanye Nasional (TKN) Fanta, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2023).

Muzani mengaku tahu pasti dan dapat memastikan frekuensi pertemuan Anies dengan Prabowo. Menurut dia, tak pernah ada pernyataan tersebut dari Prabowo sama sekali.

Muzani memastikan pernyataan Anies tidak dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Jadi, omongan Mas Anies tidak bersumber, karena selama ini dirinya tak pernah dengar Pak Prabowo ngomong seperti itu.

Prabowo juga diserang pertanyaan capres nomor urut 3, terkait pelanggaan HAM. Ganjar berjanji akan menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu bila menjawat presiden kelak.

Ada dua hal yang ditanyakan Ganjar, pertama, terkait apakah Prabowo akan membentuk pengadilan HAM apabila menjadi presiden.

Kedua, apakah Prabowo akan menemukan dan menunjukkan makan para aktivis yang hilang pada masa Orde Baru agar para keluarga bisa berziarah.

Prabowo mengaku berkali-kali ditanya soal tersebut dan sudah berkali-kali juga dia jawab. “Apa lagi yang mau ditanya kepada saya? Saya sudah jawab berkali-kali. Tiap lima tahun, kalau polling saya naik, ditanya lagi soal itu,” kata Prabowo.

Prabowo meminta agar kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dipolitisasi. “Jadi, masalah HAM jangan dipolitisasi, Mas Ganjar,” kata Prabowo.

Aktivis 1998

Wakil Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Benny Rhamdani, mengatakan seharusnya calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto tinggal tunjuk hidung siapa pelaku penculikan aktivis 1998.

“Prabowo Subianto bisa saja mengungkapkan siapa orang yang diduga sebagai pelaku penculikan aktivis 1998 saat menjawab pertanyaan Ganjar Pranowo saat debat pertama capres Pemilu 2024, Selasa (12/12/2023),” jelas aktivis ’98 itu di Jakarta, Kamis (14/12/2023).

Mantan Direktur Kampanye Tim Nasional Jokowi – KH Ma’ruf Amin, Benny Rhamdani yang kini menjabat Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) itu dengan lantar meminta capres Prabowo tinggal tunjuk hidung siapa pelaku sebenarnya.

Peristiwa penculikan aktivis di tahun 1998 itu, ujar Benny, melibatkan Tim Mawar yang dikomandoi Prabowo. Peristiwa penculikan oleh Tim Mawar itu sudah naik ke pengadilan militer. Prabowo, sebagai penanggung jawab tim itu, lalu dipecat melalui pengadilan militer.

Pertanyaannya? Sudah 25 tahun peristiwa itu terjadi hingga saat ini tidak jelas informasinya. Sementara Prabowo sendiri sudah dipecat dari komando Tim Mawar yang ditengarai pelaku penculikan 13 aktivis. Sementara beberapa aktivis yang diculik seperti Budiman Sudjatmiko, Agus Jabo, Fahri Hamzah dan lainnya masih ada dan mendukung Prabowo.

Pertanyaan Ganjar kepada Prabowo dan dijawab Prabowo secara politis disitulah letak etika koprs militer hang harus dijunjung Prabowo sebagai prajurit. Sebab, kalau benar Tim Mawar yang disebut-sebut sebagai pelaku pemculikan, kembali lagi kepada pernyataan Benny, Prabowo tinggal tunjuk hidung.

Di atas Prabowo saat itu ada Panglima TNI, dan di atasnya lagi ada Presiden. Sebagai prajurit sejati tentu saja Prabowo harus taat dan hormat komandan.

Secara militer ada etikanya dan etika lain yang tersirat dan hanya kalangan militerlah yang tahu dan abdi negara yang patuh mana yang masuk rahasia negara mana yang boleh dibuka.

Disitulah letak etika militer yang harus dijunjung tinggi sehingga Prabowo hingga saat ini tidak mungkin untuk membuka siapa pelaku atau yang memerintahkan penculikan para aktivis tersebut. Artinya, tidak semudah yang dibayangkaan para elit politik yang diluar background militer.

Disisi lain, benarkah pemecatan Prabowo dari korps militer dalam hal ini Koppasus karena kesalahan tersebut peristiwa 1998?

Sebab, dalam kesempatan mimbar akademik yang informasi tersebut hanya dibuka di dalam kelas diskusi di bangku kuliah, seorang dosen yang kebetulan bintang 2 polisi dan sempat menjadi pimpinan Komnas HAM era Baharuddin Lopa, pernah melontarkan
pernyataan kalau Prabowo benar-benar bersalah, mengapa tidak diadili oleh Pengadilan HAM Intenasional?

Pertanyaan profesor yang menjadi dosen penulis ini sangat menggelitik teman-teman di kelas program Magister Hukum (MH) Univesitas Bhayangkara Jakarta itu. Pernyataan dosen PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) menjadi diskursus saat itu.

Kembali ke topik artikel ini. Dimana letak etika politik para elit politik kita, yang seringkali melontarkan pertanyaan dan pernyataan yang dalam tanda petik ‘Tendensius’.

Menyerang pribadi sebagai capres yang tujuannya untuk menjatuhkan agar berpengaruh kepada elektabilitas, atau tidak paham bahkan bisa jadi mengabaikan etika dalam berpolitik dengan asumsi yang penting ‘gue’ serang? Bagaimana manurut Anda?***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini