Beranda Berita Terkini Pakar Hukum Tata Negara Beberkan Potensi Kecurangan Pilkada 2024

Pakar Hukum Tata Negara Beberkan Potensi Kecurangan Pilkada 2024

Feri Amsari, Pakar Hukum Tata Negara

FTNews, Jakarta— Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari membeberkan sejumlah model kecurangan yang berpotensi terjadi pada Pilkada serentak 2024. Model pertama, ujarnya, rekayasa calon tunggal.

Seluruh partai politik dihimpun untuk mendukung satu calon, sehingga tak menyisakan kekuatan untuk mengusung calon lain. Pemaksaan kepada partai politik untuk mendukung salah satu calon pun terjadi melalui ancaman tindakan hukum atas kasus hukum yang dilakukan oleh anggota partai, dan penguasaan partai politik.

“Beli seluruh perahu, beli seluruh partai dengan maharnya, sehingga tidak ada perahu yang tersisa. Wajar diduga trennya akan meningkat, karena hampir seluruh perkara calon tunggal dimenangkan oleh calon tunggal. Artinya, semua partai tergiur untuk melakukan praktik ini,” ucap Feri pada diskusi “Kecurangan Pilkada 2024: Dari Dinasti, Calon Tunggal, dan Netralisasi ASN”, dikutip dari rumahpemilu.org

Model kecurangan kedua, lanjutnya, manipulasi aturan main. Jika pada Pemilu Presiden 2024 lahir Putusan Mahkamah Konstitusi No.90/2023 yang memuluskan anak pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka ke tampuk kursi wakil presiden, pada Pilkada 2024 terbit Putusan Mahkamah Agung No.23 mengenai syarat minimal usia sebagai calon kepala daerah, yang disinyalir memberikan ruang bagi anak ketiga Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk bertarung.

“Sekarang ada Putusan 23 di MA, yang membuka jalan bagi calon yang belum berusia genap 30 tahun untuk bisa bertarung. Dimana-mana, syarat untuk masuk sesuatu mesti memenuhi syarat usia dulu. Saya misalnya mau jadi dosen, usia saya harus terpenuhi usia standarnya, tidak usia saat saya pelantikan. Jadi, ini bagian dari rekayasa,” tegas dosen Universitas Andalas ini,

Politik Gentong Babi

Model kecurangan ketiga yaitu politik gentong babi. Peristiwa pencurian bantuan sosial (bansos) di rumah dinas Wali Kota Medan, Bobby Nasution, menjadi alarm akan digunakannya bansos pada Pilkada 2024 sebagai strategi pemenangan. Menurut Feri, hilangnya bansos di rumah dinas wali kota merupakan peristiwa tak masuk akal.

“Ajaib, hilang tanpa ketahuan CCTV dan tidak ketahuan malingnya. Bansos itu berkarung-karung. Nah konsekuensinya, akan ada bansos lain untuk menutupi bansos itu. Jadi akan ada dua kali jumlah bansos untuk kota yang sama.  Ini menjelang Pilkada. Dua kali bansos menjadi sangat penting,” ujarnya..

Model kecurangan keempat yakni pengerahan aparatur sipil negara (ASN) dan Kepolisian. Telah terpantau adanya pemindahan atau penggantian sekretaris daerah (Sekda) dan kepala kepolisian daerah (Kapolda) di beberapa daerah.

Sekda merupakan jabatan ASN tertinggi di daerah yang memiliki banyak kewenangan strategis, seperti mengkoordinasikan penyusunan kebijakan daerah, dan pengoordinasian pelaksanaan tugas perangkat daerah.

“Beberapa daerah ada mutasi, pergeseran dan sebagainya. Salah satu Sekda yang dimutasi terjadi di Kota Medan dan Sumatera Utara (Sumut). Sekda yang dipimpin di daerah Pak Bobby dipindah ke Kabupaten Serdang Bedagai, daerah dengan DPT (Daftar Pemilih Tetap) tertinggi di Sumut. Jadi, Sekda yang dipercaya harus dipindah ke sana, dan Sekda yang di Kota Medan diisi oleh pamannya Bobby sendiri,” urai Feri.

Model kecurangan kelima ialah penyelenggara Pilkada yang rentan disusupi oleh kepentingan politik. Penyelenggara Pilkada merupakan orang-orang yang sama dengan penyelenggara Pemilu 2024. Pada Pemilu 2024, masyarakat sipil menemukan kecurangan pada proses verifikasi faktual partai politik peserta pemilu.

“Kecurangan terkait verifikasi faktual partai politik berlangsung di seluruh Indonesia. Bahkan, ada partai yang dibantu melakukan kecurangan di seluruh provinsi. Mereka bertahan hingga hari ini di daerah, dan mereka yang akan menyelenggarakan Pilkada,” katanya.

Model kecurangan lainnya yang perlu diwaspadai menurut Feri ialah sengketa hasil di MK. Perlu langkah-langkah bijaksana oleh MK untuk mengadili sengketa hasil pilkada. Konflik kepentingan dalam lembaga pengadilan perlu dihindari.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini