Beranda Berita Terkini Menagih Janji Penuntasan Pelanggaran HAM

Menagih Janji Penuntasan Pelanggaran HAM

Capres Prabowo Subianto saat menjawab pertanyaan Anies Baswedan dalam acara Debat Capres 2024, di Kantor KPU, Selasa (12/12/2023) malam. Foto: Tangkap Layar

FTNews, Jakarta — Tiga calon presiden (capres) masing-masing Anies Basedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo saling adu gagasan dalam acara Debat Perdana Calon Presiden 2024-2029, yang digagas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (12/12/2023) malam.

Diawali dengan suasana sersan alias serius tapi santai, tapi kemudian sesekali saling serang pernyataan dan pertanyaan. Namun disela-sela itu penoton langsung di KPU maupun pemirsa sedikit mendapat ‘hiburan’ dari salah satu capres yang sesekali menunjukan sikap dengan gestur tubuhnya.

Dibandingkan dua capres lainnya, Ganjar dan Anies, capres nomor urut 2, Prabowo Subianto penamilanya sedikit berbeda. Prabowo yang selama ini dikenal tegas, belakangan sering menunjukan gimmick yang dikenal dengan ‘joget gemoy’ atau mengangkat tangan seolah-olah menari.

Tak heran, penonton seringkali dibuat tertawa dengan penampilannya saat mengemukakan gagasannya maupun tetkala mendapat serangan pertanyaan dengan mempertontonkan gestur tertentu.

Gaya penampilan ketiga capres dalam Debat Perdana Calon Presiden itu mendapat sorotan dari berbagai pihak, antara lain pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Dr. Emrus Sihombing.

Doktor lulusan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu menyatakan gestur tersebut semestinya tidak perlu dipertontonkan Prabowo karena debat capres yang diselenggarakan KPU sifatnya formal.

“Perilaku yang sifatnya informal mengangkat tangan seperti seolah menari sangat tidak tepat menurut saya, karena debat semalam sifatnya formal,” ujar Emrus kepada FTNews, Rabu (13/12/2023).

Sementara pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel justeru sangat mengkhawatirkan Prabowo yang secara berulang ‘Joget Gemoy’ dilakukan tanpa memperhatikan konteks pertanyaan rival politiknya di acara Debat Capres.

“Sekarang bukan kondisi fisik Prabowo yang saya khawatirkan. Toh dia sudah menjalani pemeriksaan di rumah sakit. Joget berulang tanpa memperhatikan konteks acara,” kata dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu, di Jakarta, Rabu (13/12/2023).

Sebagai orang yang mendukung Prabowo pada dua kali Pilpres, Reza mengaku terpukau oleh kegesitan Prabowo di tahun 2014 dan 2019.

Strategi branding

Harus diakui, ‘joget gemoy’ Prabowo menjadi strategy branding dalam rangka meyakinkan publik bahwa mereka sehat.

Apa yang dilakukan Prabowo, kata Reza, pernah dilakukan Donald Trump (Presiden Amerika Serikat ke-45) pada tahun 2019 setelah dinyatakan lolos dari serangan COVID-19.

Begitu juga, Boris Yeltsin (Perdana Menteri Rusia era 90-an), yang dikenal mempunyai riwayat penyakit jantung juga melakukan hal serupa pada tahun 1996.

Reza menyebut, dua tokoh itu, berjoget untuk meyakinkan publik kalau dirinya sehat. Karena sehat, target Trump dan Yeltsin, masyarakat tidak ragu akan kesanggupan mereka memimpin Amerika Serikat dan Rusia.

Dari dua pendekatan itu, kata Reza, masuk akal jika Prabowo, dengan usianya yang sudah lanjut dan kondisi kesehatannya yang jauh dari prima, melakukan pendekatan serupa guna mempengaruhi persepsi publik.

Terlepas dari itu semua, dalam debat perdana capres tersebut, publik mendapat pencerahan mengenai kasus yang selalu menjadi sorotan atau perhatian masyarakat Indonesia yaitu persoalan Hak Asasi Manusia.

Khususnya, pelanggaran HAM yang terjadi selama ini dan yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah) presiden selama ini adalah penuntasan atau penghentian pelanggaran HAM.

Belum lagi, masyarakat masih ingat pelanggaran HAM yang terjadi menjelang pecahnya era reformasi 1997-1998. Dimana banyak penculikan dan penembakan terhadap aktivis mahasiswa. Hingga kini belum jelas pelakunya.

Masyarakat selama ini hanya menebak, mengira-ngira, bahkan cenderung tendensius menyebut nama tertentu sebagai pelakunya. Namun buktinya mesti ditengarai sebagai pelaku toh mereka bisa menjadi pejabat negara, duduk di pemerintahan bahkan anggota kabinet. Bahkan, sudah berganti presiden dan wakil presiden hingga kini pelakunya belum berhasil disidangkan?

Wajar saja kalau hingga saat ini masyarakat masih nyinyir kepada pemerintah. Mereka masih menagih janji-janji politik saat mereka kampanye. Apalagi, kasus pelanggaran HAM kembali terulang dan terulang lagi. Jadi, mana janji-janji itu yang dulu saat kampanye. Hanya sekadar lip service.

Kalau begitu, apa dan dimana salahnya? Jawabnya, paling gampang dengan meminjam terminologi ‘Retorik’ dan entah sampai kapan, pertanyaan besar yang sudah beberapa dekade dinanti publik, tapi alhasil tak kunjung terjawab. Ironis memang.

Gagal gagasan HAM

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai capres Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo gagal menangkap masalah seputar hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Selain itu, KontraS juga menyayangkan debat capres belum mampu memberikan pencerahan mengenai peran Presiden dalam menjalankan reformasi sektor keamanan dan mencegah institusi keamanan seperti Polri dan TNI yang terus melakukan pelanggaran HAM.

“Selain itu, isu-isu seperti komitmen para capres menghentikan pelanggaran HAM dalam pembangunan dan langkah yang dilakukan dalam mengembalikan kebebasan akademik pun tidak sama sekali dibahas,” tegas Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya dalam pernyataan resmi menanggapi Debat Capres, di Kantor KPU, Selasa (12/12/2023).

Dimas menyebut momentum ini kurang maksimal untuk menggali ‘isi kepala’ para calon presiden karena waktu pemaparan yang terbatas dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) belum sepenuhnya dibahas secara substansial, seperti kasus brutalitas aparat yaitu Tragedi Kanjuruhan dan KM 50.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya menegaskan, Anies, Prabowo, dan Ganjar telah gagal ‘menangkap’ masalah yang berfokus pada tema hukum dan hak asasi manusia (HAM), khususnya pada kasus brutalitas aparat yaitu Tragedi Kanjuruhan dan KM 50.

Dimas menilai ketiga Capres tidak menunjukan komitmennya soal memimpin arah gerak kemajuan dan peradaban HAM di Indonesia, lewat sejumlah langkah strategis.

“Kami pun tidak menemukan visi besar dalam penegakan HAM. Padahal, dalam sistem negara presidensialisme, otoritas-kewenangan yang diberikan Presiden sangatlah besar,” tegas Dimas.

Dimas menyebutkan, dalam sesi tanya jawab pada segmen kelima, Anies Baswedan sempat menyampaikan pertanyaan kepada Ganjar Pranowo soal rasa keadilan yang belum muncul pada kasus pelanggaran HAM kontemporer.

Misalnya, dalam kasus Kanjuruhan di Malang yang menimbulkan 135 korban tewas dan kasus pembunuhan di luar hukum (extra-judicial killing) kepada sejumlah anggota laskar FPI yang terjadi di Km 50 Tol Cikampek.

“Jawaban dari Ganjar Pranowo pun terkesan normatif dan gagal menjawab secara komprehensif guna memberikan keadilan bagi korban serta keluarga korban, walaupun tanggapan dari Anies Baswedan menyebutkan 4 aspek dalam keadilan transisi,” papar Dimas.

Sayangnya, tegas Dimas, para Capres tidak ada satupun yang menjelaskan permasalahan utama dari dua tragedi tersebut yaitu soal kultur kekerasan di tubuh institusi Kepolisian.

Menurutnya, selama bertahun-tahun Korps Bhayangkara ini nampak terjebak dalam tindakan eksesif dan brutal sehingga tindakannya memakan korban di tengah masyarakat. Ironisnya, para pelaku hanya dihukum ringan, bahkan tak jarang banyak yang bebas dari jerat hukuman.

Sekarang Indonesia memasuki gerbang era pemerintahan atau presiden dan wakil presiden baru pada 2024. Masihkah publik berharap pemerintahan mendatang siapapun pemenang pemilu 2024, entar pasangan calon capres-cawapres Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran ataukah Ganjar-Mahfud, tampaknya tidak peduli. Publik hanya menanti persoalan HAM, khususnya pelanggaran HAM di Indonesia tuntas, tas.. tass!

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini