Beranda Berita Terkini Ingin Maju Jadi Wali Kota Jakpus, Politikus Demokrat Uji UU Daerah Khusus...

Ingin Maju Jadi Wali Kota Jakpus, Politikus Demokrat Uji UU Daerah Khusus Jakarta

Kuasa Hukum pemohon Mohamad Taufiqurrahman memaparkan pokok-pokok permohonan pemohon pengujian Undang-Undang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ), diruang panel MK, pada Selasa (23/7/2024). Foto: Humas MK

FTNews, Jakarta— Seorang kader Partai Demokrat bernama Taufiqurrahman mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 1 ayat (9), Pasal 6 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Taufiq yang juga Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Jakarta Pusat berkeinginan maju menjadi Walikota Jakarta Pusat.

Namun, akibat berlakunya ketentuan tersebut, Pemohon sebagai putra Jakarta Pusat tidak dapat ikut berpartisipasi dan/atau mendapat kesempatan untuk menjadi Walikota Jakarta Pusat.

“Pada pokoknya Yang Mulia, kami ingin di Provinsi DKJ, Daerah Khusus Jakarta, itu sama dengan provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia di mana walikota atau bupatinya dipilih langsung oleh rakyat dan otonominya kita mau sampai di tingkat kota,” ujar Taufiqurrahman dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 75/PUU-XXII/2024 pada Selasa (23/7/2024) di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta Pusat., dikutip dari mkri

Pasal-pasal yang diuji selengkapnya berbunyi:

Pasal 1 Ayat (9): “Walikota/Bupati adalah kepala Kota Administratif I Kabupaten Administratif yang bertanggung jawab kepada Gubernur.”

Pasal 6 Ayat (1): “Wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta dibagi dalam Kota Administratif dan Kabupaten Administratif.”

Pasal 13 Ayat (1): “Kota Administratif/Kabupaten Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf f merupakan perangkat daerah kewilayahan Provinsi Daerah Khusus Jakarta.”

Pasal 13 Ayat (2): “Kota Administratif/Kabupaten Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Walikota/Bupati yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur.”

Pasal 13 Ayat (3): “Walikota/Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur”

Pasal 13 Ayat (4) huruf a: “Walikota/Bupati bertugas membantu Gubernur untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan minimal: a. Penyelenggaraan urusan pemerintahan umum berdasarkan pelimpahan dari Gubernur.”

Pemohon juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta periode 2009-2014 dan periode 2014-2019 yang terpilih di daerah pemilihan (dapil) Jakarta Pusat.

Menurut Taufiq, ketentuan pasal yang diuji di atas menimbulkan diskriminasi karena menutup kesempatannya untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintahan daerah tingkat kota sebagai calon walikota di Provinsi Daerah Khusus Jakarta.

Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota sehingga Pemohon menginginkan daerah otonom sampai ke kabupaten/kota, tidak hanya provinsi saja seperti sebelumnya. Dia berharap wali kota atau bupati yang memimpin kota/kabupaten di Jakarta tidak lagi diangkat dan diberhentikan oleh gubernur, melainkan dipilih oleh rakyat.

Pemohon menginginkan agar partai politik bisa mencalonkan wali kota, wakil walikota, bupati, dan wakil bupati untuk wilayah Daerah Khusus Jakarta. Dengan demikian, sama seperti daerah lainnya, kepala daerah di setiap wilayah Daerah Khusus Jakarta dipilih langsung oleh rakyat, bukan gubernur.

Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 1 ayat (9), Pasal 6 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf a UU DKJ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945. Pemohon juga meminta kepada Mahkamah agar memerintahkan DPR bersama pemerintah untuk membentuk undang-undang tentang kota/kabupaten otonom di Provinsi Daerah Khusus Jakarta.

Nasihat Hakim

Sidang panel ini dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Arief menjelaskan, Pemohon memang sudah menyebutkan alasan politis dan yuridisnya, tetapi Pemohon belum menjelaskan pertentangan pasal yang diuji dalam UU DKJ dengan konstitusi.

“Kalau arahnya seperti daerah kabupaten/kota yang lain, ya harus disesuaikan itu, tetapi di mana pertentangannya?” kata Arief. Arief juga menyebutkan petitum yang disampaikan Pemohon adalah kabur karena tidak lazim.

Sementara Enny menjelaskan, kabupaten/kota administratif di Jakarta merupakan akibat Jakarta menyandang status sebagai Daerah Khusus. Jika ingin disamakan dengan daerah lainnya dengan adanya pemilihan langsung, maka status Daerah Khusus itu dihilangkan.

“Kerugiannya di mana kalau gitu dari prinsipal ini, ini penting dikaitkan dengan norma yang kemudian menimbulkan kerugian konstitusional kepada Pemohon,” tutur Enny.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini