Beranda Berita Terkini Hakim MK Enny: Tak Sesuai dengan Perkembangan, sudah Saatnya UU Pemilu Diubah

Hakim MK Enny: Tak Sesuai dengan Perkembangan, sudah Saatnya UU Pemilu Diubah

Enny Nurbaningsih. Hakim Mahkamah Konstitusi/foto: tangkap layar

FTNews, Jakarta— Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) harus bisa mencerminkan lembaga yang mewujudkan judicialitation of politics bukan sebaliknya. Sehingga kita menginginkan bahwa bekerjanya semua elemen dalam penyelenggaraan Pemilu adalah rule of law, bukan rule by law.

Hal itu disampaikan Enny pada webinar bertajuk “Pemilu Serentak 2024 dan Penyelesaian Perselisihan Hasil” secara daring yang diselenggarakan atas kerja sama MK dengan Universitas Gadjah Mada.

Dilansir mkri, Enny mengatakan, pembagian kewenangan antara KPU, Bawaslu, DKPP, dan MK dalam UU Pemilu sudah sangat jelas. Namun, ia menilai perlu adanya penyesuaian agar sesuai dengan perkembangan dan putusan MK.

“UU Pemilu sudah saatnya dilakukan perubahan karena sudah banyak hal yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan. Termasuk, dari sisi hal yang harus disesuaikan dengan hasil putusan MK,” ujar Enny.

Di dalam UU Pemilu, paparnya, kita sebetulnya sudah sangat jelas bahwa kelembagaan yang ditentukan dalam UU Pemilu itu sudah diberikan kewenangan yang terbagi habis di dalamnya. Apakah itu pada KPU, kemudian Bawaslu, bahkan Bawaslu memiliki kewenangan yang luar biasa dalam proses bagaimana bisa mengawasi jalannya tahapan di dalam pemilihan umum, termasuk DKPP, dan MK itu diberikan slot kecil yaitu perselisihan hasil pemilihan umum.

Enny menjelaskan bahwa waktu penyelesaian PHPU berbeda-beda, yaitu 14 hari untuk Pilpres, 30 hari untuk Pileg, dan 45 hari untuk Pilkada. Fokus utama dalam perselisihan hasil ini adalah memastikan hasil rekapitulasi yang telah ditetapkan oleh KPU dapat diterima dengan baik.

Namun, tidak bisa diabaikan bahwa proses ini sangat dinamis dan dapat diikuti oleh semua pihak yang berkepentingan. MK berperan penting dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, baik itu Pilpres, Pileg, maupun Pilkada.

“Tetapi persoalannya adalah kita tidak bisa menafikkan dan itu sudah menjadi kondisi yang berkembang dan bisa diikuti seluruh proses yang mana MK menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum baik itu Pilpres, Pileg dan Pilkada,” paparnya kepada peserta webinar.

Pada kenyataannya, sambung Enny, tidak semata-mata MK melihat angka yang membuat orang memberikan stigma negatif pada MK. Secara faktual, karena MK memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga agar konstitusi tetap tegak sebagai Penjaga Konstitusi kemudian tidak melihat bahwa sengketa itu bermuatan politik.

Tetapi bagaimana kemudian MK mencerminkan diri sebagai judicialitation of politics. Itulah kemudian MK pada akhirnya banyak kasus, MK tidak berpijak hanya pada hasil, tetapi melihat juga pada akhirnya proses.

Desain Pemilu Serentak

Pada kesempatan yang samaEnny juga menerangkan MK telah memberikan sebuah timbangan hukum yang bisa menjadi guidline bagi pembentuk undang-undang. Hal ini merupakan bagian dari kebijakan politik terbuka yang memberikan pedoman tentang keserentakan.

Berdasarkan Putusan MK No. 67/PUU-XIX/2021, desain pemilihan umum serentak secara nasional yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang pada 2024 adalah Pemilu serentak dalam 2 (dua) tahap, yaitu Pemilihan Umum serentak untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan Anggota DPRD yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Setelah itu dilaksanakan Pilkada serentak secara nasional dilaksanakan pada 27 November 2024.

Enny menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan Nomor 67/PUU-XIX/2021, menekankan pentingnya melibatkan aspirasi masyarakat dalam pembentukan Undang-Yndang Pilkada. Prinsip kontestasi dan partisipasi, menurut MK, merupakan indikator kunci dalam meningkatkan kualitas demokrasi elektoral.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini