Beranda Berita Terkini Quo Vadis Kuota 30 % Caleg Perempuan di Parlemen

Quo Vadis Kuota 30 % Caleg Perempuan di Parlemen

Sejumlah aktvis-perempuan menyambangi bawaslu (foto Suara Aisyiyah)

ftnews.co.id, Jakarta – Kaum perempuan patut berbangga hati. Perempuan kini sudah mendapat tempat dalam politik Indonesia. Pemerintah berupaya mendorong kaum hawa itu untuk berpartisipasi dalam politik, seperti Pemilu. Peran mereka tidak sekadar pemilih tapi juga terus didorong untuk berkiprah, baik sebagai penyelenggara pemilu maupun peserta Pemilu. 

Setidaknya upaya tersebut, tercermin dari sejumlah regulasi yang mendorong partisipasi perempuan dalam Pemilu.  Salah satunya dalam Undang-undang  Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Disana diatur kewajiban partai politik untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun kepengurusan partai.

Selanjutnya, dalam Pasal 245  UU Nomor 7 tahun 2027 juga diamanatkan, daftar calon legislatif yang diajukan partai politik harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. 

Belakangan Mahkamah Agung (MA) juga telah mengabulkan gugatan  uji materiil terhadap Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 

Dalam Putusan MA No.24 P/HUM/2023 pada 29 Agustus 2023 itu,  Mahkamah Agung telah mengoreksi  Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab/Kota terkait penggunaan rumus/formula penghitungan keterwakilan perempuan berupa pembulatan ke bawah,

MA juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencabut pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU No.10/2023  karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945, UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Jaminan negara terhadap keterwakilan perempuan juga  ditegaskan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan DKPP No.110-PKE-DKPP/IX/2023 yang menyebutkan  bahwa kebijakan keterwakilan perempuan melalui affirmative action dalam konstruksi hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah agenda demokrasi yang harus dijaga dan ditegakkan. 

Dengan adanya regulasi tersebut,  keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia memang mengalami peningkatan, meski belum mencapai target 30 persen.   Sekadar perbandingan, pada Pemilu 1999 misalnya ada sembilan persen perempuan di legislatif. Jumlah tersebut mengalami kenaikan pada  Pemilu 2004 menjadi 11,8 persen. 

Pada Pemilu 2009, jumlah keterwakilan perempuan di legislatife meningkat hingga 17,86 persen. Pada pemilu 2014 angkanya mengalami penurunan menjadi 17.32 persen. Jumlah kembali naik pada Pemilu 2019 yaitu 20,52 pesen. 

Pada Pemilu 2024 keterwakilan perempuan dalam Daftar  Calon Tetap (DCT) anggota DPR  yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih belum memenuhi kuota 30 persen. 

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Daftar  Calon Tetap (DCT) anggota DPR pada Pemilu 2024. Ada sebanyak 9.917 calon anggota DPR   yang  ditetapkan KPU. Mereka  berasal  dari  18 partai politik peserta Pemilu 2024 yang tersebar di  84 daerah pemilih  (dapil). 

Ironisnya, calon anggota DPR dari 18 partai politik  peserta Pemilu yang ditetapkan KPU tersebut tidak memuat keterwakilan  perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan (Dapil).  Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dam partai Demokrat, salah satu  parpol yang jumlah caleg perempuan di setiap dapilnya kurang dari 30 persen.

PKB misalnya, dari 84 dapil  yang ikuti, 29 dapil tidak memuat daftar calon dengan minimal 30 persen. Begitu juga daftar caleg  di 26 dapil yang di daftarkan PDI-P dan caleg Demokrat di 24 Dapil tidak memuat daftar calon dengan minimal 30 persen perempuan. 

Satu-satunya Parpol yang memiliki keterwakilan perempuan 30 persen adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).  Dari 580 caleg PK di 84 Dapil, disetiap dapul telah memenuhi keterwakilan perempuan diatas 30 persen. 

Padahal UU Pemilu telah mengatur secara jelas agar partai politik mengajukan daftar calon dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil. Namun aturan tersebut  tidak dipenuhi oleh parpol. Buktinya, hampir semua parpol tidak mentaati peraturan tersebut. 

Ironisnya, KPU justru mentolerir tindakan parpol  yang melanggar  UU Pemilu tersebut. Kondisi ini mengakibatkan  hak pencalonan ribuan perempuan untuk ikut Pemilu  tersingkirkan karena kuota mereka diisi oleh caleg laki-laki. 

KPU memang telah menyampaikan surat dinas kepada parpol agar mentaati perhitungan 30 persen caleg perempuan, sesuai putusan MA. Tapi  sayangnya, surat dinas KPU itu diabaikan parpol sehingga banyak parpol yang mendaftarkan calegnya  tidak sesuai peraturan yang berlaku.

KPU  mengklaim jumlah caleg perempuan mencapai 37,13 persen. Namun itungan penyelenggara Pemilu itu, dinilai banyak kalangan tidak tepat. Pasalnya, perhitungan KPU itu dilakukan secara kumulatif di seluruh dapil. Padahal arena pertarungan berada di setiap dapil.Dengan begitu ketentuan minimal 30 persen caleg perempuan seharusnya dihitung per dapil.

Tidak tercapainya keterwakilan perempuan di legislatif, itu dipersoalkan Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan. Belum lama ini koalisi yang merupakan gabungan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat ini mengadukan KPU ke Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu).

Koalisi  menilai,   KPU telah melakukan  pelanggaran administrasi Pemilu karena Daftar  Calon Tetap (DCT) anggota DPR  yang ditetapkan tidak memenuhi kriteria keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap daerah pemilih.

Selain itu KPU  dalam menerapkan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR,  juga tidak sesuai dengan tata cara penerapan kebijakan afirmasi  keterwakilan perempuan sebagaimana diamanatkan dalam UU 1945, UU Nomor 7 tahun 1984 tentang  Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Pasal 245 UU Nomor 7 tahun 2017, dan Putusan MA Nomor 24. P/HUM/2023 dan pasal 8 ayat (1) huruf c Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2023.

Karena itu dalam laporannya ke Bawaslu, koalisi meminta  KPU untuk memperbaiki DCT Pemilu anggota DPR, anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang tidak memuat keterwakilan perempuan 30 persen di setiap dapil. Selain itu, koalisi juga meminta KPU untuk membatalkan DCT yang diajukan parpol di daerah pemilihan yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. 

Sejatinya tidak hanya KPU, Bawaslu juga tidak menjalankan fungsi pengawasan, khususnya terkait dengan kepatuhan parpol mematuhi ketentuan keterwakilan perempuan. Seharusnya Bawaslu tidak mendiamkan kondisi tersebut. Sebaliknya, Bawaslu harus melakukan penegakan hukum terhadap  ketidakpatuhan KPU dalam memastikan semua parpol mengikuti ketentuan perundang-undangan dalam proses pencalegan. 

Kondisi tersebut bila didiamkan, akan berakibat menurunnya jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR. Buntunya, produk legislasi yang kelak akan dibuat parlemen berpotensi tidak mengakomodir kepentingan perempuan dan terjadi ketimpangan gender.

Sejatinya, UU Pemilu memang mengatur ketentuan bagi parpol untuk  memenuhi paling sedikit 30 persen perempuan, namun sayangnya  tidak memuat sanksi bagi parpol yang tidak melaksanakan ketentuan itu.Tidak adanya  sanksi bagi parpol  membuat target  keterwakilan perempuan minimal 30 persen sulit dipenuhi. *

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini