Beranda Berita Terkini Publik Mulai Sadar Buruknya Politik Dinasti

Publik Mulai Sadar Buruknya Politik Dinasti

Istana Negara

ftnews.co.id, Jakarta – Hal menarik menyimak hasil survei terbaru dari Lembaga Riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyangkut politik dinasti. Ternyata sebagian besar publik (62 persen) publik tidak tahu apa itu politik dinasti.

Meski mesti dilakukan survei lanjutan. Namun jika dikaitkan dengan elektabilitas pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka terus menanjak hingga 40 persen lebih, tentu bisa dipahami.

Menurut Saiful, politik dinasti adalah kekuasaan yang diperoleh melalui atau karena ikatan darah. Politik dinasti adalah kekuasaan yang turun-temurun, seperti dari ayah ke anak. Politik dinasti tidak terjadi jika tidak ada pihak yang sedang berkuasa.

“Seseorang bisa menjadi pejabat publik seperti gubernur dan bupati, dikatakan punya karakteristik dinasti apabila ia memeroleh kekuasaan atau jabatan tersebut terkait dengan pihak yang sedang berkuasa, di mana pihak yang sedang berkuasa itu memiliki hubungan darah dengan yang sedang mencari kekuasaan tersebut,” jelas Saiful dalam keterangannya, Kamis (16/11/2-23).

Dalam demokrasi, lanjut Saiful, pejabat eksekutif seperti presiden, gubernur, dan bupati memang dipilih rakyat. Memang berbeda antara politik dinasti dalam sistem kerajaan dan sistem demokrasi.

Dalam sistem kerajaan, menurut Saiful, tidak ada pemilihan terhadap orang yang mau mendapatkan jabatan tersebut, namun ditunjuk sang raja. Sementara dalam demokrasi, seseorang menjadi pejabat publik harus melalui pemilihan umum.

Karena itu, kata Saiful, dalam demokrasi seseorang menduduki jabatan melalui pemilihan umum bisa masuk dalam praktik politik dinasti jika dalam prosesnya ada unsur hubungan darah antara yang sedang berkuasa dengan yang sedang mencari jabatan tersebut.

Saiful mencontohkan proses Gibran yang merupakan anak presiden yang sedang berkuasa, dan maju sebagai calon walikota Solo. “Pengakuan Ketua PDI Perjuangan Solo, bahwa Jokowi sendiri yang datang menemuinya dan menceritakan Gibran berminat menjadi calon walikota Solo. Jokowi ketika itu sudah dalam posisi sebagai presiden,” tuturnya.

Dalam demokrasi politik dinasti bisa terjadi. “Apakah orang akan memilih atau tidak, itu sangat bergantung pada bagaimana sikap masyarakat. Tapi sikap itu bukan sesuatu yang netral, melainkan bisa diciptakan melalui kampanye, sosialisasi, dan semacamnya,” jelas Saiful.

Di Amerika Serikat antara George Bush dan Bush junior tidak bisa disebut dinasti. “Karena Bush junior menjadi calon presiden setelah ayahnya tidak lagi menjabat sebagai presiden. Hillary Clinton yang maju sebagai calon presiden juga terjadi setelah suaminya, Bill Clinton, tidak lagi menjabat,” jelas Saiful.

Dalam survei SMRC, publik ditanyakan tentang politik dinasti tersebut ditambah dengan penjelasan yang lebih detil. Hasilnya, hanya 38 persen publik yang tahu atau pernah dengar mengenai politik dinasti dalam pengertian yang dijelaskan di atas. Sedangkan 62 persen yang tidak tahu.

“Dari yang tahu (38 persen), 53 persen menyatakan setuju dengan pandangan bahwa politik dinasti tidak adil karena mengurangi kesetaraan kesempatan bagi setiap warga untuk menjadi pejabat pemerintahan,” papar Saiful.

Selain itu, survei juga mengungkapkan, ada 45 persen yang tidak setuju dan dua persen tidak tahu. Dari yang tahu, sebanyak 85 persen menyatakan tidak suka dengan politik dinasti, hanya 13 persen yang suka, dan sisanya (2 persen) tidak menjawab.

Hasil survei juga menemukan, 37 persen publik tahu jika Presiden Jokowi sedang membangun politik dinasti untuk anaknya. Sedangkan 63 persen menyatakan tidak tahu.

“Dari yang tahu (37 persen), 68 persen menyatakan percaya pandangan bahwa Jokowi sedang membangun politik dinasti. Dari yang tahu itu juga, 75 persen menyatakan tidak suka presiden Jokowi membangun politik dinasti,” ungkap Saiful.

Temuan SMRC lainnya, bahwa 9 dari 10 orang yang tahu politik dinasti menyatakan tidak suka. “Itu artinya kalau politik dinasti itu disosialisasikan dan jumlah yang tahu menjadi mayoritas, maka secara nasional akan muncul sentiment negatif yang kuat pada praktik politik tersebut,” tukas Saiful.

SMRC juga menemukan, 53 persen menyatakan politik dinasti itu buruk atau sangat buruk bagi pelaksanaan pemerintahan dan 24 persen menyatakan politik dinasti baik atau sangat baik, dan respondem tidak jawab 22 persen.

Sementara untuk populasi yang tahu politik dinasti menyatakan buruk atau sangat buruk 75 persen dan hanya 21 persen yang menyatakan hal itu baik atau sangat baik, dan tidak jawab 5 persen.

Menurut Saiful, pembicaraan atau pengetahuan publik mengenai praktik politik dinasti masih terbatas. Kemungkinan pembicaraan mengenai politik dinasti lebih terbatas di kalangan kelas menengah atas. Meski begitu opini publik dinamis.

“Pembicaraan mengenai hal ini bisa berkembang jika ada kampanye dan sosialisasi tentang apa itu politik dinasti,” ujar Saiful yang juga Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.

Survei SMRC melibatkan populasi seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah. Survei dilakukan 29 Oktober – 5 November 2023.

Dari 2400 responden dipilih secara acak (stratified multistage random sampling), populasi yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1939 atau 81 persen. Margin of error diperkirakan sebesar ± 2,3% pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Kampenye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 baru resmi dilakukan mulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2023. Masih terbuka banyak kemungkinan sikap publik terhadap tiga pasangan capres-cawapres, terutama pasangan Prabowo-Gibran yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Hasil survei dari banyak lembaga riset menyebutkan, elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran terus menanjak hingga lebih 40 persen. Sedangkan pasangan capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD terus melorot hingga 28 persen. Di sisi lain, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mulai naik elektabiitasnya.

Jika publik mulai sadar politik dinasti seperti yang disebutkan Prof Saiful Mujani tentu akan ada kemungkinan perubahan sikap publik. Sudah barang tentu diperlukan sosialisasi apa itu politik dinasti dan dampaknya bagi demokrasi. Hal ini juga dengan catatan jika pasangan capres-cawapres ingin merebut suara rakyat.

Siapa pun yang akan terpilih dari tiga pasangan capres-cawapres mendatang, kita mesti menerimanya dengan lapang dada. Vox populi vox dei atau suara rakyat adalah suara Tuhan. Demikianlah adagium dalam demokrasi. Terlepas suara itu dimanipulasi atau sebaliknya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini