Beranda Berita Terkini Lagi-lagi Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden Digugat ke Mahkamah Konstitusi

Lagi-lagi Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden Digugat ke Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi/foto: tangkap layar

FTNews, Jakarta— Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana Pengujian Materiil Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945, pada Selasa (16/7/2024) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.

Permohonan perkara dengan Nomor 62/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan, yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, para Pemohon yang hadir secara luring menyampaikan, mengalami kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal UU Pemilu, terkait keberadaan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden-red) yang mengatur persyaratan calon presiden untuk mengumpulkan sejumlah dukungan politik tertentu.

Para Pemohon melihat hal ini sebagai langkah yang merugikan moralitas demokrasi  sehingga hak untuk memilih Presiden yang sejalan dengan preferensi atau dukungan politiknya menjadi terhalang atau terbatas.

Dilansir laman mkri, Tsalis Khoirul Fatna selaku Pemohon IV mengatakan, keberadaan Pasal 222 UU Pemilu melanggar batasan open legal policy terkait moralitas, terbukti menggerus moralitas demokrasi dengan adanya agregasi partai politik yang mengakibatkan tidak berjalannya fungsi partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal tersebut menegaskan bahwa partai politik berfungsi sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.

Ia menyebut, prinsip “one man one vote one value” tersimpangi oleh adanya presidential threshold. Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip “one value” karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama.

Idealnya, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan. Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi.

Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, dimana nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.

Para Pemohon berpandangan, presidential threshold tidaklah rasionalitas. Sebab Pemohon memahami suara hanya digunakan untuk satu kali Pemilu. Sehingga presidential threshold dengan minimal kursi dan suara sah Pemilu DPR tidaklah logis karena Pemilu serentak antara presiden dan legislatif (DPR, DPD, dan DPD) hanya didasarkan pada penghitungan hasil Pemilu DPR 5 (lima) tahun sebelumnya.

Tentunya Mahkamah harus mempertimbangkan secara mendalam bahwa perhitungan suara yang didasarkan pada Pemilu sebelumnya tidak memberikan jaminan pada penghormatan atau pemenuhan hak rakyat untuk memilih (right to vote) atau mendapatkan sebanyak-banyaknya pilihan alternatif pasangan calon presiden.

Tsalis juga menerangkan, ketentuan dalam Pasal 222 UU Pemilu sejatinya berimplikasi pada ketidakadilan yang intolerable karena memaksa rakyat Indonesia untuk memilih Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung oleh partai politik yang telah memenuhi kriteria jumlah suara pada Pemilu sebelumnya yang sudah ditentukan undang-undang.

Tidak dapat memilih merupakan suatu tindakan yang tidak adil karena hak untuk memilih merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Memilih adalah cara yang penting bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses demokratis, di mana dapat mengekspresikan preferensi politik dan berkontribusi pada pemilihan pemimpin dan kebijakan yang akan mempengaruhi kehidupan rakyat. Oleh karena itu, seluruh individu harus memiliki kesempatan untuk memilih preferensi pemimpin masing-masing.

Ia menegaskan, para Pemohon sengaja memilih waktu mengajukan permohonan ini pasca selesainya Pemilihan Presiden Tahun 2024.

Momentum ini sebagai bukti bahwa permohonan yang diajukan para Pemohon bukanlah permohonan yang bersifat politis, melainkan permohonan ini adalah murni perjuangan akademik dan advokasi konstitusional para Pemohon. Oleh karena itu para Pemohon berharap agar Mahkamah dapat benar-benar mempertimbangkan permohonan para Pemohon.

Untuk itu, Para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu melanggar batasan open legal policy (moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable) dan bertentangan dengan UUD 1945 serta menyatakan presidential threshold pada Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan moralitas demokrasi.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyarankan para Pemohon untuk melihat putusan-putusan yang ada di website MK sekaligus putusan yang telah diputus terkait dengan permohonan pengujian Pasal 222 ini.

“Nah yang baik-baik di sana itu kan bisa diambil, walaupun saya sepakat bahwa secara umum sistematika permohonan ini sudah baik, termasuk yang ada di bagian kewenangan MK,” kata Arsul.

Sebelum menutup persidangan Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas perbaikan diterima oleh MK pada Senin 29 Juli 2024 pukul 13.00 WIB.***

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini