Beranda Berita Terkini Lembaga Survei: Antara Independen, Integritas atau Tendensi

Lembaga Survei: Antara Independen, Integritas atau Tendensi

Logo Badan Pengawas Pemilu Daerah Istimewa Yogyakarta. (Foto Bawaslu DIY)

FTNews, Jakarta — Giat lembaga survei terkait pemilihan umum (pemilu) 2024, khususnya pemilihan presiden (Pilpres) dalam setahun terakhir meningkat tajam. Mereka dituntut integritas dan independensinya.

Dalam setahun ini lembaga-lembaga survei tersebut sudah beberapa kali merilis hasil atau laporan surveinya terhadap calon-calon presiden dan wakil presiden.

Setidaknya, dalam dua terakhir sudah tersaring tiga pasangan capres dan cawapres yang kita kenal. Bahkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi sudah mengundir nomor peserta Pilpres, yaitu pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar nomor 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor 2 dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD nomor urut 3.

Tidak sedikit masyarakat, termasuk akademisi, pengamat, bahkan tim pemenangan atau tim kampanye dari paslon yang menyangsikan atau meragukan hasil dari lembaga survei tersebut.

Diantaranya ada yang berpendapat hasil survei mereka tendensius karena menggiring opini masyarakat calon pemilih. Tidak hanya itu, ada pihak tertentu menilai lembaga survei bukan memberikan data yang benar atau valid di lapangan, melainkan membela yang membayar.

Tentu pendapat yang terakhir boleh dikatakan sebuah tuduhan yang sangat keji apalagi tidak memiliki data akurat atau bukti-bukti yang shahih. Bahkan, ada lembaga yang menyebut juga kalau lembaga survei harus diaudit keuangannya.

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nurhayati misalnya, Sabtu (25/11/2023) menilai lembaga survei kini sudah tercemar dan tidak menjalankan tugasnya sebagai lembaga independen. Sebab lembaga survei telah menjadi ruang gelap dalam pemilu.

Selain itu, Neni juga menyebut ada beberapa lembaga survei yang hasil surveinya menunjukan bagaimana lembaga survei tersebut mempengaruhi masyarakat dan memanipulasi sehingga muncul adanya kebohongan publik.

Partisipasi masyarakat

Padahal, kalau kita merujuk kepada pada pasal 4 PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) nomor 9 tahun 2022 bahwa partisipasi masyarakat melalui lembaga survei tentu harus memenuhi kaidah dan prinsip dan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan pemilu.

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership juga mengatakan lembaga survei jangan menjadi prostitusi demokrasi. Kini lembaga survei telah menjadi pekerja pemilu yang terafiliasi dengan kegiatan-kegiatan partai politik.

Seharusnya, lanjut dia, lembaga survei harusnya dapat bekerja secara independen sebagai pelaku pekerja ilmiah dalam melakukan penghitungan ilmiah. Ironisnya, banyak lembaga survei yang tidak melakukan riset, sehingga terjebak manipulasi dan kebohongan publik.

Padahal, kalau merujuk kepada Undang-Undang Pemilu, lembaga survei semacam itu bisa dikenakan sanksi dengan ancaman pidana jika terbukti melanggar, termasuk lembaga survei yang melakukan penghitungan cepat (quick count) Pemilu.

KPU RI menegaskan, lembaga survei terancam hukuman penjara dan denda belasan miliaran rupiah jika melanggar Undang-Undang Pemilu. Sanksi tersebut dikenakan jika lembaga survei melanggar Pasal 449 Ayat 5 terkait perhitungan cepat (quick count) Pemilu.

Dalam Pasal 540 Ayat (2) Undang-Undang Pemilu, pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat.

‘Sebelum dua jam setelah selesainya pemungutan suara wilayah Indonesia bagian barat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (5),” kata Komisioner KPU Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu Idham Holik dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (22/9/2023).

Sanksi pidana

Berdasarkan Pasal 509 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang dapat dipidana dengan ancaman kurungan satu tahun serta ancaman denda sebesar Rp12 juta.

Sementara pada pasal 307, yakni setiap orang atau lembaga yang mengumumkan hasil penghitungan cepat sebelum selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat, dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 18 bulan dan denda paling sedikit Rp6 juta dan paling banyak Rp18 juta.

Hanya saja kemudian dimaknai oleh dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yakni putusan nomor 9 Tahun 2009 dan 24 Tahun 2014 yang pada intinya tidak dilarang sepanjang sesuai dengan sesuai dengan prinsip metodologis ilmiah dan tidak bertendensi.

Peneliti Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad mengungkap lembaga survei yang memanipulasi data akan dikeluarkan dari asosiasi lembaga survei. Misalnya, SMRC tergabung dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi).

Di sisi lain, Bawaslu sendiri punya kwenangangan dalam penanganan kode etik dan pidana pemilu apabila lembaga survei diduga melanggar prinsip metodologis ilmiah dan tidak bertendensi. Jadi jangan ada tendensi dan manipulasi.

Terlepas dari ‘tuduhan, kecurigaan, tendensi’ yang dilontarkan sejumlah pihak terhadap lembaga survei, perlu diapresiasi. Kalau kita berpikir positif, semua itu tidak agar iklim demokrasi di Indonesia benar-benar berjalan dan berkembang.

Kalau memang benar ada lembaga survei yang berafiliasi kepada partai politik atau dalam kutip nakal. Toh sudah jelas sanksinya, selain dpat dikeluarkan dari institusi yang melindunginya, tapi juga hukum pidana menanti menjerat mereka.

Tentu saja, lembaga survei dituntut independen, tidak tendensius dan memiliki integritas. Apalagi, seperti yang kita ketahui personal lembaga survei minimal sarjana strata 1. Namun kenyataannya sebagian besar lembaga survei berkualifikasi kesarjanaan S2 dan S3 (magister dan doktor). Tidak sedikit juga mereka para akademisi.*

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini